Suasana dalam ruangan itu kudapati
biasa-biasa saja. Di sudut-sudut ruangan terdapat makanan kecil dan
buah-buahan. Di sudut lainnya ada sebuah bar yang kelihatan lengkap
sekali jenis minumannya. Sementara itu suara iringan musik terdengar
samar-samar mengalun dengan lembut dari ruang tamu yang besar. Yang
membedakannya adalah para tamunya. Kelihatannya tidak begitu banyak,
kuhitung hanya ada belasan orang dan wanitanya semua berdandan secantik
mungkin dengan pakaian yang lebih seksi daripada yang kukenakan.
Demikian juga aku tidak melihat seorang pelayan pun atau petugas
catering yang biasanya mengurusi konsumsi dalam pesta-pesta yang
diadakan di rumah-rumah mewah seperti ini.
"Silakan.. help your self saja", kata nyonya rumah kepada kami dalam
bahasa Inggris logat Cina Singapore. "Memang sengaja para pembantu
semuanya sudah disuruh ngungsi.., you know kan, agar privacy kita tidak
terganggu!" katanya lagi dengan suara yang genit.
Kami segera berbaur dengan pasangan-pasangan lainnya yang sudah ada di
sana. Priyono dan istrinya sedang mengobrol dikelilingi beberapa
pasangan lainnya. Aku lihat istri Priyono benar-benar sangat menarik
sekali malam itu dengan pakaiannya yang agak tembus pandang membuat mata
kita mau tidak mau akan segera terjebak untuk memperhatikannya dengan
seksama, apakah dia memakai pakaian dalam di balik itu. Sehingga dalam
pakaian itu dia tidak saja kelihatan sangat cantik akan tetapi juga
seksi. Melihat penampilan istri Priyono, suamiku jadi sangat antusias
sekali. Dia terus memperhatikan istri Priyono tanpa mempedulikanku lagi.
Sikap suamiku yang demikian menimbulkan juga rasa cemburu di hatiku.
Jadi benar dugaanku, rupanya suamiku benar tertarik kepada istri
Priyono. Pantas saja dia sering memujinya bahkan sering mengatakan
kepadaku secara bergurau bagaimana rasanya kalau berhubungan kelamin
dengan istri Priyono.
Tidak berapa lama kemudian tuan rumah beserta istrinya menghampiri kami.
"Mari kita ambil minum dahulu", katanya sambil langsung menuju bar.
Salah seorang tamu kemudian bertindak sebagai bar tender. Dengan cekatan
dia membuatkan minuman yang dipilih masing-masing orang dan kebanyakan
mereka memilih minuman yang bercampur akohol. Kecuali aku dan istri
Priyono. Aku memang tidak begitu tahan terhadap minuman beralkohol.
"Anda minum apa?" tanyanya kepadaku dan istri Priyono.
"Coca cola saja..!" kataku.
"Pakai rum, bourbon atau scotch?" "Terima kasih.., coca cola saja..!"
"Oo, di sini tidak boleh minum itu! Itu termasuk minuman kedua yang
dilarang di sini..!" katanya dalam nada yang jenaka. "Minuman pertama
yang dilarang adalah cola atau lainnya yang dicampur dengan Baygone!
Yang kedua minuman yang anda pilih tadi, jadi mau tidak mau harus
dicampur sedikit dengan rum atau lainnya. Saya kira 'rum and cola' cocok
untuk anda berdua!" katanya lagi sambil terus mencampur rum dan segelas
cola serta menaruh es batu ke dalamnya.
"Ini.., cobalah dahulu.., buatan bar tender terkenal!" katanya sambil menyodorkan gelas itu kepada kami.
Selesai membuat minuman dia segera bergabung dengan kami.
"Anda cantik sekali dengan busana ini", katanya seraya memegang pundakku yang terbuka.
Aku agak menjauhinya seketika karena kukira dia mabuk. Tapi sesungguhnya
hal itu disebabkan aku tidak terbiasa beramah-ramah dengan seorang pria
asing yang belum kukenal benar.
"Terima kasih", kataku berusaha menjawabnya.
"Dada anda bagus sekali", katanya sambil menatap dalam-dalam ke arah belahan dada gaunku.
Dia diam sejenak. Kemudian dia mulai memperhatikanku secara khusus.
Kelihatannya dia sedang menilaiku. Aku dapat membacanya dari senyumnya
yang tersembunyi. Apabila waktu yang lalu ada seorang laki-laki yang
memandang diriku secara demikian maka suamiku mungkin akan segera
mengirimkan bogem mentah kepadanya.
Aku pun kemudian mulai memperhatikan penampilannya. Aku berpikir apakah
dia laki-laki yang akan meniduriku nanti? Tidak begitu jelek juga,
pikirku. Tinggi badannya kira-kira 170 cm, dengan bahu yang bidang dan
wajah yang ramah menarik. Aku berpikir rupanya dalam club ini untuk
dapat tidur dengan seorang wanita tidak berbeda bagaikan akan membeli
seekor sapi saja. Namun secara tidak disadari aku menyukai juga
ucapannya itu terutama datangnya dari seorang pria yang tidak aku kenal
dan di hadapan suamiku. Kuharap dia dengar kata-kata itu. Kata-kata itu
ditujukan kepadaku, bukan kepada istri Priyono. Ya, pada saat itu aku
merasa agak melambung juga walaupun hanya sedikit.
Aku segera menghabiskan minumanku. Aku memang selalu berbuat itu, akan
tetapi rupanya dia mengartikannya lain bahwa aku ingin segera memulai
sesuatu.
"Jangan terburu-buru!" katanya.
"Kita belum lagi tahu cottage mana yang akan anda tempati", katanya
sambil menambah minumanku. "Akan tetapi saya senang sekali apabila nanti
kita dapat tempat yang sama dan segera ke sana." bisiknya.
Aku menjadi agak terselak seketika. Hal ini disebabkan bukan hanya aku
kaget mendengar bisikannya itu, tetapi juga minumanku terasa sangat
keras sehingga kepalaku langsung terasa mulai berat.
"Saya benar-benar baru pertama kali mengikuti pertemuan ini", tiba-tiba aku berkata secara spontan.
"Ohh", katanya agak kaget. Kemudian dia menatapku dengan pandangan yang menyesal.
"Saya harap kata-kata saya tadi tidak menyinggung anda." bisiknya dengan nada minta maaf.
"Sungguh.. sungguh tidak", kataku sambil memberikan senyuman.
Tidak berapa lama kemudian tuan rumah mengumumkan akan melakukan
penarikan nomor arisan. Semula aku mengira tuan rumah akan menarik nama
pasangan yang akan mendapat arisan bulan ini sebagaimana arisan-arisan
biasa lainnya. Akan tetapi dugaanku meleset. Mula-mula tuan rumah
meminta kami untuk berkelompok secara terpisah antara suami istri. Para
suami membuat kelompok sendiri dan para istri juga membuat kelompok
sendiri. Selanjutnya kami masing-masing diminta mengambil amplop kecil
dalam dua buah bowl kristal yang berbeda yang diletakkan pada
masing-masing kelompok. Satunya untuk para suami dan satunya lagi untuk
para istrinya. Amplop kecil tersebut ternyata berisi sebuah kunci dengan
gantungannya yang bertuliskan sebuah nomor.
Aku bertanya kepada wanita di sebelahku yang kelihatan sudah biasa dalam kegiatan ini.
"Kunci ini adalah kunci cottage yang ada di sekitar villa ini.."
katanya. "Jadi nanti kita cocokkan nomor yang ada di kunci itu dengan
nomor bungalow atau kamar di sana."
"Terus.." kataku selanjutnya.
"Terus..!?" katanya sambil memandang kepadaku dengan agak heran.
"Terus..? Oh ya.., kita tunggu saja siapa yang dapat kunci dengan nomor
yang sama!"
Tiba-tiba hatiku menjadi kecut. Aku tidak dapat membayangkan apa yang
akan dilakukan dalam cottage itu. Apalagi hanya berduaan dengan
laki-laki yang bukan suami kita.
"Jadi kita hanya dengan berdua dalam cottage itu?"
"Ya, karena kuncinya sudah pas sepasang-sepasang!"
"Jadi kita tidak tahu siapa yang dapat kunci dengan nomor yang sama dengan nomor kita?" kataku untuk menegaskan dugaanku.
"Ya, memang sekarang ini sistemnya berbeda. Dahulu pada waktu club ini
disebut The Golden Key Club memang kita bisa ketahui karena para
pesertanya mula-mula berada dalam sebuah kamar masing-masing. Jadi kita
tahu siapa di kamar nomor berapa. Kemudian baru para suami keluar dan
saling tukar menukar kunci kamar mereka dimana para istrinya berada di
dalamnya. Sekarang sistem itu telah dirubah. Karena dengan sistem itu
ada anggota yang suka curang. Dia memilih pasangan yang diincarnya
sehingga timbul komplain dari anggota yang lain. Sekarang masing-masing
pasangan mengambil kunci kamar secara diundi dan disaksikan oleh semua
anggota. Sehingga sekarang lebih fair karena anggota tidak dapat memilih
pasangannya yang diincar terlebih dahulu. Kelemahannya dalam sistem ini
ada kemungkinan pasangan suami-istri itu juga akan mendapatkan nomor
yang sama. Kalau sudah begitu ya nasibnya lah.., kali ini dia tidak
dapat apa-apa."
Sekarang aku baru mengerti mengapa club ini dahulu dinamakan The Golden
Key Club. Selesai kami mengambil kunci semua berkumpul kembali di ruang
tamu. Tuan rumah meminta kami untuk mengambil gelas sampanye
masing-masing kemudian kami bersulang. Aku mereguk sampanye itu
sekaligus sehingga kepalaku kini terasa semakin berat.
"Dapat nomor berapa?" kata suamiku yang tiba-tiba sudah berada di sampingku.
"Nomor delapan..!" jawabku.
"Untung..! "
"Kenapa untung?"
"Ya untung tidak dapat nomor yang sama.., nomorku duabelas!" katanya.
"Itu bukan untung tapi cilaka.., cilaka duabelas namanya!"
"Ya tapinya untung juga..!" jawab suamiku.
"Kenapa..?"
"Untung bukan cilaka tigabelas!" jawabnya sambil tertawa.
"Sudah percuma berdebat di sini..!" kataku. "Eh kalau Novie dapat nomor berapa ya?" kataku lagi.
"Iya ya.., nomor berapa dia, tolong kau tanyakan dong!"
Rupanya aku tidak usah berpayah-payah mencari Novie karena tiba-tiba Priyono dan istrinya sudah berada di dekat kami.
"Eh, kamu dapat nomor berapa?" aku berbisik kepada Novie. "Nomor duabelas Mbak.." jawabnya.
Aku jadi terhenyak. Jadi maksud suamiku untuk meniduri istri Priyono
kini tercapai. Aku segera memberi isyarat kepada suamiku bahwa nomornya
sama dengan nomor dia. Suamiku kelihatan berseri-seri sekali ketika
menerima isyaratku. Aku jadi agak cemburu lagi melihat tingkahnya. Dia
bernyanyi-nyanyi kecil mengikuti irama musik yang mengalun di ruangan
itu.
Tidak berapa lama kemudian lampu-lampu di seluruh ruangan itu mulai
meredup. Ruangan itu kini menjadi agak gelap dan alunan musik berirama
slow terdengar lebih keras lagi. Suasana dalam ruangan itu kini jadi
lebih romantis. Aku lihat beberapa pasangan yang mulai berdansa tapi
kebanyakan dari mereka menyelinap satu persatu, mungkin menuju
cottage-nya masing-masing, tapi ada juga yang masih duduk-duduk
mengobrol di sofa.
Tiba-tiba Priyono mengajakku untuk berdansa. Dan sudah barang tentu
suamiku segera juga mengajak istri Priyono berdansa. Ketika kami
berdansa Priyono mendekapku erat-erat. Begitu sangat eratnya sehingga
seolah-olah kami dapat mendengar degub jantung di dada masing-masing.
"Kamu dapat nomor berapa?" tiba-tiba Priyono berbisik di telingaku.
"Nomor delapan!" jawabku.
"Ah, sayang.."
"Mengapa?" kataku lagi.
"Aku nomor enam!" katanya lagi.
"Siapa itu..?" tanyaku.
"Aku dengar sih Nyonya Siska, istrinya tuan rumah!"
"Wah, enak dong.., orangnya sintal, mungkin tiga hari nggak habis dimakan!" kataku berseloroh.
"Jangan ngeledek ya..!" katanya.
"Memangnya kenapa..? Kan betul orangnya sintal!"
"Potongan seperti itu bukan typeku!" katanya.
"Typemu seperti apa sih?" kataku.
"Seperti kamu..!" katanya lagi sambil terus mendusal-dusal leherku.
Aku jadi agak bergelinjang juga leherku diciumi Priyono sedemikian rupa.
Selama kami bergaul belum pernah dia melakukan hal yang tidak senonoh
denganku. Dia sangat sopan terhadapku. Tapi malam ini tiba-tiba saja dia
berbuat itu. Apakah karena pengaruh alkohol yang dia minum tadi atau
memang selama ini dia juga mempunyai perasaan yang terpendam terhadap
diriku. Perasaanku kini jadi melambung kembali. Ditambah dengan pengaruh
alkohol yang aku minum tadi, aku merasakan adanya gairah birahi yang
timbul dalam diriku ketika berdekapan Priyono sehingga aku pasrah saja
leherku didusal-dusalnya.
"Eh, kau ngerayu, atau mabok..? Kenapa dari dulu-dulu nggak bilang!"
kataku sambil terus mendekapkan tubuhku lebih erat lagi sehingga buah
dadaku terasa menyatu dengan dadanya.
"Malu sama suamimu!"
"Kenapa malu.., dia sendiri juga sering cerita bahwa dia suka sama istri
kamu, eh sekarang dia dapat nomor kamar istrimu lagi!" kataku lagi.
"Oh ya..?" kata Priyono. "Kalau aku dulu bilang.., kau terus mau apa?"
"Tentunya kita nggak usah payah-payah ikut arisan di sini.. di rumah saja!"
"Ah, kau..!" katanya sambil terus menempelkan pipinya ke pipiku.
Selanjutnya begitu irama musik hampir selesai, tiba-tiba Priyono meraih
wajahku dan langsung mengecup bibirku dengan lembut.
Bersambung...