Kenalkan nama saya Anis, usia 40 tahun,
berat badan 57 kg, rambut hitam lurus dengan warna kulit antara
kehitaman dan kemerahan. Sejak kecil saa tergolong pendiam, kurang
pergaulan dan pengalaman. Saya berasal dari keluarga yang hidup
sederhana di suatu desa agak terpencil kurang lebih 3 km dari ibu kota
kecamatanku. Saya dibesarkan oleh kedua orangtuaku dengan 5 saudara
perempuanku. Jujur saja saya adalah suku B, yang ingin mengungkapkan
pengalaman hidupku yang tergolong aneh seperti halnya teman-teman
lainnya melalui cerita porno di internet.
Singkat cerita, setelah saya menikah dengan seorang perempuan pilihan
orangtuaku, saya mencoba hidup mandiri bersama istri sebagai bentuk rasa
tanggungjawab saya sebagai suami dan kepala rumah tangga, meskipun rasa
cintaku pada istriku tersebut belum mendalam, namun tetap saya coba
menerima kenyataan ini siapa tahu di kemudian hari saya kami bisa saling
mencintai secara penuh, lagi pula memang saya belum pernah sama sekali
jatuh cinta pada wanita manapun sebelumnya.
Kami coba mengadu nasib di kota Kabupatenku dengan mengontrak rumah yang
sangat sederhana. Beberapa bidang usaha saya coba tekuni agar dapat
menanggulangi keperluan hidup kami sehari-hari, namun hingga kami
mempunyai 3 orang anak, nasib kami tetap belum banyak berubah. Kami
masih hidup pas-pasan dan bahkan harapanku semula untuk mempertebal
kecintaanku terhadap istriku malah justru semakin merosot saja. Untung
saja, saya orangnya pemalu dan sedikit mampu bersabar serta terbiasa
dalam penderitaan, sehingga perasaanku itu tidak pernah diketahui oleh
siapapun termasuk kedua orangtua dan saudara-saudaraku.
Entah pengaruh setan dari mana, suatu waktu tepatnya Bulan Oktober 2003
aku sempatkan diri berkunjung ke rumah teman lamaku sewaktu kami
sama-sama di SMA dulu. Sebut saja namanya Azis. Dia baru saja pulang
dari Kalimantan bersama dengan istrinya, yang belakangan saya ketahui
kalau istrinya itu adalah anak majikannya sewaktu dia bekerja di salah
satu perusahaan swasta di sana. Mereka juga melangsungkan perkawinan
bukan atas dasar saling mencintai, melainkan atas dasar jasa dan balas
budi.
Sekitar pukul 17.00 sore, saya sudah tiba di rumah Azis dengan naik ojek
yang jaraknya sekitar 1 km dari rumah kontrakan kami. Merekapun masih
tinggal di rumah kontrakan, namun agak besar dibanding rumah yang kami
kontrak. Maklum mereka sedikit membawa modal dengan harapan membuka
usaha baru di kota Kabupaten kami. Setelah mengamati tanda-tanda yang
telah diberitahukan Azis ketika kami ketemu di pasar sentral kota kami,
saya yakin tidak salah lagi, lalu saya masuk mendekati pintu rumah itu,
ternyata dalam keadaan tertutup.
"Dog.. Dog.. Dog.. Permisi ada orang di rumah" kalimat penghormatan yang
saya ucapkan selama 3 kali berturut-turut sambil mengetuk-ngetuk
pintunya, namun tetap tidak ada jawaban dari dalam. Saya lalu mencoba
mendorong dari luar, ternyata pintunya terkunci dari dalam, sehingga
saya yakin pasti ada orang di dalam rumah itu. Hanya saja saya masih
ragu apakah rumah yang saya ketuk pintunya itu betul adalah rumah Azis
atau bukan. Saya tetap berusaha untuk memastikannya. Setelah duduk
sejenak di atas kursi yang ada di depan pintu, saya coba lagi
ketuk-ketuk pintunya, namun tetap tidak ada tanda-tanda jawaban dari
dalam. Akhirnya saya putuskan untuk mencoba mengintip dari samping
rumah. Melalui sela-sela jendela di samping rumahnya itu, saya sekilas
melihat ada kilatan cahaya dalam ruangan tamu, tapi saya belum
mengetahui dari mana sumber kilatan cahaya itu. Saya lalu bergeser ke
jendela yang satunya dan ternyata saya sempat menyaksikan sepotong tubuh
tergeletak tanpa busana dari sebatas pinggul sampai ujung kaki. Entah
potongan tubuh laki-laki atau wanita, tapi tampak putih mulus seperti
kulit wanita.
Dalam keadaan biji mataku tetap kujepitkan pada sela jendela itu untuk
melihat lebih jelas lagi keadaan dalam rumah itu, dibenak saya muncul
tanda tanya apa itu tubuh istrinya Azis atau Azis sendiri atau orang
lain. Apa orang itu tertidur pula sehingga tersingkap busananya atau
memang sengaja telanjang bulat. Apa ia sedang menyaksikan acara TV atau
sedang memutar VCD porno, sebab sedikit terdengar ada suara TV seolah
film yang diputar. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang selalu mengganggu
pikiranku sampai akhirnya aku kembali ke depan pintu semula dan mencoba
mengetuknya kembali. Namun baru saja sekali saya ketuk, pintunya
tiba-tiba terbuka lebar, sehingga aku sedikit kaget dan lebih kaget lagi
setelah menyaksikan bahwa yang berdiri di depan pintu adalah seorang
wanita muda dan cantik dengan pakaian sedikit terbuka karena tubuhnya
hanya ditutupi kain sarung. Itupun hanya bagian bawahnya saja.
"Selamat siang," kembali saya ulangi kalimat penghormatan itu.
"Ya, siang," jawabnya sambil menatap wajah saya seolah malu, takut dan kaget.
"Dari mana Pak dan cari siapa," tanya wanita itu.
"Maaf dik, numpang tanya, apa betul ini rumah Azis," tanya saya.
"Betul sekali pak, dari mana yah?" tanya wanita itu lemah lembut.
"Saya tinggal tidak jauh dari sini dik, saya ingin ketemu Azis. Beliau
adalah teman lama saya sewaktu kami sama-sama duduk di SMA dulu," lanjut
saya sambil menyodorkan tangan saya untuk menyalaminya. Wanita itu
mebalasnya dan tangannya terasa lembut sekali namun sedikit hangat.
"Oh, yah, syukur kalau begitu. Ternyata ia punya teman lama di sini dan
ia tak pernah ceritakan padaku," ucapannya sambil mempersilahkanku
masuk. Sayapun langsung duduk di atas kursi plastik yang ada di ruang
tamunya sambil memperhatikan keadaan dalam rumah itu, termasuk letak
tempat tidur dan TVnya guna mencocokkan dugaanku sewaktu mengintip tadi
Setelah saya duduk, saya berniat menanyakan hubungannya dengan Azis,
tapi ia nampak buru-buru masuk ke dalam, entah ia mau berpakaian atau
mengambil suatu hidangan. Hanya berselang beberapa saat, wanita itu
sudah keluar kembali dalam keadaan berpakaian setelah tadinya tidak
memakai baju, bahkan ia membawa secangkir kopi dan kue lalu diletakkan
di atas meja lalu mempersilahkanku mencicipinya sambil tersenyum.
"Maaf dik, kalau boleh saya tanya, apa adik ini saudara dengan Azis?"
tanyaku penuh kekhawatiran kalau-kalau ia tersinggung, meskipun saya
sejak tadi menduga kalau wanita itu adalah istri Azis.
"Saya kebetulan istrinya pak. Sejak 3 tahun lalu saya melangsungkan
pernikahan di Kalimantan, namun Tuhan belum mengaruniai seorang anak,"
jawabnya dengan jujur, bahkan sempat ia cerita panjang lebar mengenai
latar belakang perkawinannya, asal usulnya dan tujuannya ke Kota ini.
Setelah saya menyimak ulasannya mengenai dirinya dan kehidupannya
bersama Azis, saya dapat mengambil kesimpulan bahwa wanita itu adalah
suku di Kalimantan yang asal usul keturunannya juga berasal dari suku di
Sulawesi. Ia kawin dengan Azis atas dasar jasa-jasa dan budi baik
mereka tanpa didasari rasa cinta dan kasih sayang yang mendalam, seperti
halnya yang menimpa keluarga saya. Ia tetap berusaha dan berjuang untuk
menggali nilai-nilai cinta yang ada pada mereka berdua siapa tahu kelak
bisa dibangun. Anehnya, meskipun kami baru ketemu, namun ia seolah
ingin membeberkan segala keadaan hidup yang dialaminya bersama suami
selama ini, bahkan terkesan kami akrab sekali, saling menukar pengalaman
rahasia rumah tangga tanpa ada yang kami tutup-tupi. Lebih heran lagi,
selaku orang pendiam dan kurang pergaulan, saya justru seolah menemukan
diriku yang sebenarnya di rumah itu. Karena senang, bahagia dan asyiknya
perbincangan kami berdua, sampai-sampai saya hampir lupa menanyakan ke
mana suaminya saat ini. Setelah kami saling memahami kepribadian, maka
akhirnya sayapun menanyakan Azis (suaminya itu).
"Oh yah, hampir lupa, ke mana Azis sekarang ini, kok dari tadi tidak
kelihatan?" tanyaku sambil menyelidiki semua sudut rumah itu.
"Kebetulan ia pulang kampung untuk mengambil beras dari hasil panen
orangtuanya tadi pagi, tapi katanya ia tidak bermalam kok, mungkin
sebentar lagi ia datang. Tunggu saja sebentar," jawabnya seolah tidak
menghendaki saya pulang dengan cepat hanya karena Azis tidak di rumah.
"Kalau ke kampung biasanya jam berapa tiba di sini," tanyaku lebih lanjut.
"Sekitar jam 8.00 atau 9.00 malam," jawabnya sambil menoleh ke jam
dinding yang tergantung dalam ruangan itu. Padahal saat ini tanpa terasa
jarum jam sudah menunjukkan pukul 7.00 malam.
Tak lama setelah itu, ia nampaknya buru-buru masuk ke ruang dapur,
mungkin ia mau menyiapkan makan malam, tapi saya teriak dari luar kalau
saya baru saja makan di rumah dan melarangnya ia repot-repot menyiapkan
makan malam. Tapi ia tetap menyalakan kompornya lalu memasak seolah tak
menginginkan aku kembali dengan cepat. Tak lama sesudah itu, iapun
kembali duduk di depan saya melanjutkan perbincangannya. Sayapun tak
kehabisan bahan untuk menemaninya. Mulai dari soal-soal pengalaman kami
di kampung sewaktu kecil hingga soal rumah tangga kami masing-masing.
Karena nampaknya kami saling terbuka, maka sayapun berani menanyakan
tentang apa yang dikerjakannya tadi, sampai lama sekali baru dibukakan
pintu tanpa saya beritahu kalau saya mengintipnya tadi dari selah
jendela. Kadang ia menatapku lalu tersenyum seolah ada sesuatu berita
gembira yang ingin disampaikan padaku.
"Jadi bapak ini lama mengetuk pintu dan menunggu di luar tadi?" tanyanya sambil tertawa.
"Sekitar 30 menit barangkali, bahkan hampir saya pulang, tapi untung
saya coba kembali mengetuk pintunya dengan keras," jawabku terus terang.
"Ha.. Ha.. Ha.. Saya ketiduran sewaktu nonton acara TV tadi," katanya dengan jujur sambil tertawa terbahak-bahak.
"Tapi bapak tidak sampai mengintip di samping rumah kan? Maklum kalau
saya tertidur biasanya terbuka pakaianku tanpa terasa," tanyanya seolah
mencurigaiku tadi. Dalam hati saya jangan-jangan ia sempat melihat dan
merasa diintip tadi, tapi saya tidak boleh bertingkah yang mencurigakan.
"Ti.. Ti.. Dak mungkin saya lakukan itu dik, tapi emangnya kalau saya
ngintip kenapa?" kataku terbata-bata, maklum saya tidak biasa bohong.
"Tidak masalah, cuma itu tadi, saya kalau tidur jarang pakai busana,
terasa panas. Tapi perasaan saya mengatakan kalau ada orang tadi yang
mengintipku lewat jendela sewaktu aku tidur. Makanya saya terbangun
bersamaan dengan ketukan pintu bapak tadi," ulasnya curiga namun tetap
ia ketawa-ketawa sambil memandangiku.
"M.. Mmaaf dik, sejujurnya saya sempat mengintip lewat sela jendela tadi
berhubung saya terlalu lama mengetuk pintu tapi tidak ada jawaban. Jadi
saya mengintip hanya untuk memastikan apa ada atau tidak ada orang di
dalam tadi. Saya tidak punya maksud apa-apa," kataku dengan jujur, siapa
tahu ia betul melihatku tadi, aku bisa dikatakan pembohong.
"Jadi apa yang bapak lihat tadi sewaktu mengintip ke dalam? Apa bapak
sempat melihatku di atas tempat tidur dengan telanjang bulat?" tanyanya
penuh selidik, meskipun ia masih tetap senyum-senyum.
"Saya tidak sempat melihat apa-apa di dalam kecuali hanya kilatan cahaya
TV dan sepotong kaki," tegasku sekali lagi dengan terus terang.
"Tidak apa-apa, saya percaya ucapan bapak saja. Lagi pula sekiranya
bapak melihatku dalam keadaan tanpa busana, bapak pasti tidak heran, dan
bukan soal baru bagi bapak, karena apa yang ada dalam tubuh saya tentu
sama dengan milik istri bapak, yah khan?" ulasnya penuh canda. Lalu ia
berlari kecil masuk ke ruang dapur untuk memastikan apa nasi yang
dimasaknya sudah matang atau belum.
Bersambung...