Dari bagian 1
Malu-malu dia berusaha menghindar, tapi terpegang juga olehku barang
kepunyaannya. Lucunya setelah terpegang dia tidak terus berontak, malah
dibiarkannya aku mengusap-usap alat kejantanannya itu. Setelah aku
usap-usap Adli terlihat sudah mulai mampu menguasai diri lagi. Malah
rupanya keberaniannya timbul kembali. Dengan gaya lugunya dia bertanya,
"Emangnya besar ya Neng punya Adli?"
Aku mengangguk mengiyakan. Hampir tertawa aku ketika Adli menanyakan,
"Tapi istri saya kok nggak pernah bilang apa-apa yah?"
Kujawab saja sekenanya,
"Wah dia nggak ngerti suaminya punya barang hebat.. Eh ngomong-ngomong
mau diterusin nggak?" Dengan manis dan lugu Adli mengangguk,
"Kalau nggak diterusin entar pusing Neng."
Tidak mampu menahan diri lagi langsung kutawarkan padanya,
"Mau saya bantuin nggak?"
Terlongo Adli memandangku dan bertanya,
"Emangnya Eneng mau?"
Sambil tersenyum genit aku berkata kepadanya,
"Kalau untuk kamu mau dong.. tapi jangan di sini ya, di kamar aja yuk!"
Kutarik tangan Adli dan menuntunnya kembali ke kamar tidur. Kuarahkan
supaya ia duduk membujur di atas ranjang, lalu aku menelungkup di
hadapannya. Kedua tanganku mulai mengusap-usap batang kejantanan Adli.
Ukurannya memang luar biasa. Tadi dalam keadaan Adli berdiri, kalau
batangnya ditegakkan sepertinya panjangnya sampai ke pusarnya. Sekarang
dalam keadaan dia duduk panjangnya jelas meliwati pusarnya itu.
"Aduh Neng, geli banget!" Erang Adli.
Kedua lengannya mengencang menyangga tubuhnya, sampai terlihat
otot-ototnya menonjol gagah. "Adli! Adli! Besar amat ya kepunyaan kamu
ini, katanya orang Arab yang itunya gede-gede begini," demikian aku
membuatnya bertambah semangat.
Ternyata Adli mengiyakan sinyalemen ini dengan menerangkan,
"Iya Neng, kakek saya dari pihak ibu memang keturunan Arab."
Pantaslah kalau begitu. Beberapa saat hening tanpa ada suara, sementara aku terus mengocok-ngocok lembut barang kepunyaan Adli.
Sampai akhirnya terdengar lagi Adli bertanya,
"Neng, katanya kalau orang bule seneng ngemutin pake mulut yah Neng?"
Pertanyaan ini kurasa semakin menjurus dan membuatku terusik oleh
keinginan terpendam yang ada di hatiku. Dengan singkat kujelaskan
padanya,
"Ah bukan orang bule aja, orang Indonesia juga ada."
Setelah terdiam sejenak pertanyaan berikutnya membuat gairahku semakin tergugah.
"Kalau Neng Mimien gimana?"
Walau dengan nada ragu-ragu berani juga dia menanyakannya. Akupun mengaku terus terang,
"Yah saya sih dari dulu juga suka."
Sejenak lagi Adli terdiam lalu terang-terangan bertanya,
"Sama punya Adli mau nggak Neng?"
Aku melepas nafas lega, rupanya akan terjadi juga hal tidak-tidak yang dari tadi terbayang olehku.
Tapi aku tidak mau terburu-buru, aku masih ingin mempermainkannya dulu. Dengan mimik serius kujelaskan padanya,
"Wah kalau itu sih harus dilamar dulu!"
Rupanya tertarik Adli bertanya mengejar,
"Maksudnya dilamar gimana Neng?"
Masih tetap serius kupertegas lebih jauh lagi,
"Ya ngelamar anak orang kan biasanya ada syaratnya."
Wajah Adli terlihat agak kecewa,
"Yah kalau pake Mas kawin mah Adli nggak punya."
Tidak ingin terlalu lama berjual mahal langsung kujelaskan padanya,
"Maksudnya bukan begitu, syarat sebagai laki-laki ya ITU-nya bisa bangun, besar, panjang, keras sama kuat."
Kembali Adli nampak bersemangat,
"Oh kalau itu sih Adli mampu.. Bersedia nggak Neng dilamar Adli?"
Aku membisikkan kesediaanku. Lalu Adli berkata dengan penuh keseriusan,
"Neng, bersama ini Adli nyatakan bahwa Adli ngelamar Neng Mimien alias
Neng Yasmin dan mampu memenuhi syarat yang diminta tadi.."
Kujawab kata-katanya itu, "Dengan ikhlas saya bersedia menerima lamarannya Adli dan berjanji untuk memuaskan kemauannya."
Walaupun aku sebetulnya bercanda, tetapi semua kulakukan dengan penuh
keseriusan. Begitu pula Adli menanggapinya dengan cara yang serius juga.
Sambil tersenyum lega Adli bertanya,
"Terus gimana Neng?"
Aku juga tersenyum dan menjawab, "Terus saya cium."
Dengan bersemangat Adli memyambutnya,
"Aduh mau Neng, ayo dong!"
Pada saat bibirku mendarat di atas kepala kemaluannya dan mengecupnya Adli mendesah,
"Aduh geli Neng, enak."
Apalagi waktu mulai kujilat-jilat dengan lidahku, ia betul-betul merasakan nikmatnya. Tubuhnya mengejang keras.
"Aduh Neng geli sekali."
Begitu kumasukkan ujung kemaluannya yang seperti topi baja itu ke
mulutku, lalu mulai aku kulum, Adli mengerang panjang. Karena keenakan
dia sampai menekan kepalaku ke bawah. Dipenuhi oleh kejantanan lelaki
yang sebesar itu aku sampai sulit bernafas. Untung aku sudah cukup
berpengalaman dalam hal seks oral, sehingga dengan mudah aku bisa
menyesuaikan gerakan bibir, lidah dan mulutku.
Ketika ujung tongkat kejantanannya menyentuh langit-langit mulutku, aku
merasakan lonjakan gairah yang membawa nikmat. Sayang sementara sedang
menikmati itu semua, masih kudengar juga Adli bertanya lagi.
"Neng hanya ini aja apa boleh lebih Neng?"
Terpaksa aku menjawab dulu, supaya jangan terjadi hal-hal yang tidak
kuinginkan. Kuusahakan supaya Adli bisa menerima keteranganku dengan
baik.
"Sebatas ini aja ya, soalnya baik Adli maupun saya kan udah
berkeluarga.. Lagi pula kalau meliwati batas ini kita kan jadinya
melanggar perintah agama.. Iya kan Adli?"
Tersenyum puas Adli memandangku,
"Iya juga ya Neng, sampai sekarang Adli belom pernah melanggar perintah
agama.. Terima kasih ya Neng, begini aja Adli udah puas sekali kok."
Manis sekali anak ini, akupun jadi semakin menyukainya. Langsung
kuperhebat emutanku, sampai aku sendiri semakin terangsang. Sewaktu aku
sudah mulai hanyut, ternyata masih juga kudengar permintaan Adli.
"Neng..," panggilnya, "Neng Mimien."
Agak kesal aku menjawabnya, "Iya kenapa? Ada apa?"
Rupanya Adli tidak tahu bahwa aku merasa kesal. Terbukti dia masih memintaku,
"Neng, sambil diemutin, dijilatin juga Neng, enak kan kalau sembari dijilatin.."
Kupenuhi permintaannya, walaupun aku merasa agak jengkel. Berani betul
anak muda ini menyuruh-nyuruh aku. Untung suasana batinku tidak sampai
terganggu, sehingga aku dapat mencapai orgasmeku. Karena sudah
terangsang dari tadi, terutama setelah mulai mengemut alat kejantanan
Adli, beberapa usapan saja sudah cukup untuk membawaku ke puncak rasa
jasmaniku. Aku mengaduh, merintih dan mengerang sambil terus menjilati
barang kepunyaan Adli. Laki-laki itu sampai melihati aku dengan
pandangan agak heran. Tapi tidak kuperdulikan lagi dirinya. Terus aku
emuti daging keras Adli di mulutku, sampai gelora rasaku mereda.
Setelah itu yang aku sadar adalah betapa pegalnya rahang mulutku, karena
dari tadi mengemuti kepunyaan Adli dengan tanpa henti. Sedikit-sedikit
mulai ada rasa jengkel juga karena daya tahan kejantanan lelaki itu kuat
sekali. Hampir aku sentak dia ketika sekali lagi kudengar suaranya
berbicara kepadaku.
"Neng..," katanya, "Neng."
"Aduh Adli, ada apa lagi sih?"
Tapi untung dia tidak menangkap kekesalanku, karena kudengar dia berkata,
"Saya hampir keluar Neng."
Rasa gairah semakin merangsang diriku, semakin keras juga aku mengemut
dan mengisap alat kemaluan Adli. Hingga akhirnya seluruh tubuh Adli
mengejang keras, begitu juga batang kejantanannya di mulutku.
"Ah.. ah.. Neng.. Neng Mimien.. ah.. Aduh Neng.." Adli mengerang keras
dan panjang. Rupanya dia sedang mengalami puncak kenikmatannya di
mulutku. Semburan demi semburan air mani Adli memasuki rongga mulutku.
Banyak sekali, kental, dan asin rasanya. Supaya tidak terselak kutelan
sebisa-bisanya. Tapi setelah aku tidak tahan lagi, kubiarkan sebagian
tertumpah dari mulutku dan terjatuh ke perut Adli.
Beberapa saat kemudian keadaan mulai mereda. Kudengar suara nafas Adli
lembut. Alat kejantanannya yang masih berada dalam genggamanku ternyata
masih keras juga.
"Adli," kupanggil dia.
Sambil mengusap-usap bahuku ia menjawab,
"Neng?"
Kujelaskan padanya, "Punya lelaki yang seperti begini yang jadi idaman wanita."
Seperti biasa dalam kepolosannya dia tidak langsung mengerti,
"Kenapa Neng?"
Karena sudah puas aku tidak kesal lagi dengan keluguannya,
"Soalnya biarpun sudah lepas muatannya masih tetap keras."
Sebelum dia sempat bertanya lebih jauh lagi kuminta ia membujurkan
dirinya di ranjang. Lalu kuambil handuk yang sudah kubasahi dengan air
panas dan kubersihkan seluruh tubuhnya. Sebelum tertidur Adli sempat
memandangku mesra. Katanya lirih,
"Neng Mimien, Terima kasih ya Neng!"
Akupun tidur di ranjang satunya. Pemandangan tubuh telanjang Adli, yang
sebagiannya telah terbungkus selimut, mengantarku ke dunia mimpi.
Ranjang Asmara
Perjalanan di hari berikutnya berlangsung cukup lama. Bukan karena jarak
yang ditempuh jauh sekali, tapi lebih disebabkan oleh kemacetan yang
luar biasa. Sebuah truk trailer rupanya mengalami selip dan terbuang
melintang menutupi sebagian jalan antar kota yang kami liwati. Setibanya
di kota tujuan berikutnya, yaitu Kuningan, langsung kuperintahkan
mencari restoran untuk makan malam. Sayangnya setelah itu tidak langsung
dapat menemukan hotel ataupun losmen dengan kamar yang masih kosong.
Akhirnya terpaksa mencari kamar agak keluar kota, yaitu di kawasan
pariwisata yang berada di daerah pegunungan.
Baru menjelang tengah malam kami menemukan sebuah losmen kecil di mana
masih tersedia kamar yang kosong. Untungnya pada setiap kamar di losmen
ini dilengkapi pula dengan kamar mandi. Ketika aku memesan kamar,
kulihat wajah Adli menatap dengan pandangan penuh harap. Begitu ganteng,
tetapi polos dan lugu sekali. Kupesan satu kamar untuk dia dan Pak
Soleh, supir kantorku. Aku sendiri minta kamar dengan tempat ranjang
double-bed. Berbeda dengan semalam sebelumnya, kali ini aku tidak begitu
tergerak untuk mengajak Adli ke kamarku. Barangkali karena hasratku
sudah terpuaskan tadi malam, lagi pula perjalanan hari ini benar-benar
membuatku sangat letih.
Segera aku mandi dan membaringkan diriku di ranjang empuk yang tersedia.
Lama kelamaan baru terasa malam ini sepi sekali. Agak menyesal juga
tadi tidak mengajak Adli bersamaku. Tapi kalau mencarinya sekarang
rasanya gengsi juga. Sewaktu aku hampir tertidur kudengar bunyi ketukan
di pintu, lalu suara seorang laki-laki.
"Neng, Neng Mimien, sudah tidur belum..? Neng bukain pintunya dulu Neng."
Karena ketukan pintunya begitu gencar akhirnya kubukakan pintu untuk
Adli. Ia segera masuk ke dalam ruangan, sedangkan aku yang tadi tidur
dengan busana yang sangat minim segera kembali ke bawah selimut. Kutanya
kepadanya,
"Kenapa Adli, ada apa?"
"Adli nggak bisa tidur Neng, boleh nggak Adli di sini? Nggak usah sampe pagi sih."
Dengan hati-hati kujawab, "Boleh sih boleh, tapi apa kata Pak Soleh nanti?"
Adli tersenyum lebar, "Tadi saya udah bilang mau jalan-jalan. Besok saya
bilangin aja Adli nyari kamar lain, soalnya Pak Soleh kalo tidur ngorok
Neng."
Rupanya biarpun polos jalan juga pikiran anak ini. Waktu Adli mau naik ke atas ranjang kucegah dia.
"Itu kan celana yang tadi siang dipakai, lepas dulu dong, kan kotor."
Tersenyum Adli memandangku,
"O iya Neng, lagi pula supaya nanti gampang ya kalo Neng Mimien mau, kalau begitu sekalian aja saya lepas bajunya ya Neng."
Kurang asem si Adli, berani betul dia membuat asumsi seperti itu.
Sebelum kubalikkan tubuhku membelakanginya sempat kulihat tubuhnya yang
telanjang kekar naik ke atas ranjang.
Beberapa saat berlalu tiba-tiba kurasa sentuhan tangan Adli di bahuku.
"Neng jangan tidur dulu dong Neng," pintanya memelas mesra. "Deketan dikit dong, biar nggak kedinginan," sambungnya lagi.
Kuputuskan untuk beringsut sedikit ke arah tubuhnya. Aku masih diam
saja, tapi kubiarkan Adli merangkul dan mengecup bahuku. Setelah itu
disusupkannya lengan kirinya ke bawah leherku, sehingga aku sekarang
berbantalkan lengan yang kokoh itu.
"Balik sini dong Neng," pinta Adli sekali lagi.
Kuturuti permintaannya. Terasa bulu ketiaknya menusuk pipiku. Tercium
juga bau keringatnya yang agak tajam menyengat. Kurasa Adli belum mandi,
dan yang pasti tidak memakai deodorant. Boro-boro mau beli perlengkapan
semacam itu, gaji untuk hidup sehari-hari sajapun mungkin pas-pasan.
Tapi tidak kuucapkan komentar apapun, karena akupun tidak ingin untuk
menyinggung perasaannya.
"Neng," kata Adli memulai percakapan, "tadi malam enak ya Neng?"
Kutanggapi ia malas-malasan, "Iya, lumayan juga."
Dengan terbuka ia mengakui, "Neng, Inget yang tadi malam Adli jadi ngaceng, eh maksudnya bangun lagi ITU-nya Neng."
Dengan maksud iseng kugoda Adli,
"Maksud Adli ITU-nya apa sih?"
Dalam kepolosannya sulit ia untuk menjawab dengan tepat,
"Itu Neng, penisnya.. eh apa tuh namanya Neng?"
Aku jadi tertawa geli mendengar jawabannya itu. Adlipun tertawa bersamaku.
"Pegangin dong Neng, sekarang dia memintaku."
Terus terang aku sendiri juga mulai terangsang. Kumasukkan tanganku ke
dalam selimut, dan segera menuju ke arah selangkangannya. Begitu
terpegang tonjolan keras di balik celana dalamnya segera tanganku
mencari celah masuk. Seperti pengakuannya tadi ternyata alat kejantanan
Adli sudah menegang keras dan besar sekali. Terasa sekali hangat
berdenyut dalam genggamanku. Agak lengket oleh keringat yang barangkali
sudah mengendap seharian.
Terbawa oleh suasana mesra saat itu kucium dan emut puting dadanya. Adli
menggelinjang kegelian. Katanya meminta, "Terus ke bawah Neng."
Tapi tercium lagi olehku bau keringat Adli. Karena tidak tahan kuusulkan padanya,
"Adli, mandi aja dulu, nanti rasanya lebih segar deh."
Di luar dugaanku Adli menanggapi dengan penuh percaya diri,
"Nggak usah deh Neng, dingin sekali."
Tapi aku tidak mau menyerah begitu saja. Kataku membujuknya,
"Lho kan ada air panasnya, sana deh.. Apa harus saya yang mandiin?"
Sambil berdiri Adli berkata, "Nggak usah ah kalo dimandiin, emangnya jenazah nggak bisa mandi sendiri."
Adli merosot celana dalamnya, "Tapi ininya dicium dulu dong."
Agak jengkel aku mendengar permintaannya. Dari nadanya kesan yang
kutangkap seakan-akan dia ingin menguji atau mempermainkan aku. Dengan
maksud supaya dia cepat pergi ke kamar mandi, segera kukecup kepala dan
batang kemaluannya, masing-masing sekali. Tapi Adli memintaku untuk
mengulanginya sekali lagi, dan setelah itu sekali lagi. Akhirnya malah
aku sendiri yang keenakan menciumi batang kemaluan Adli.
Ke bagian 3