Sesaat kemudian ayah dan ibunya ikut duduk di meja makan.
"Kamu apakan mereka sampai pada lari keluar rumah?", tanya ayahnya pada Eka.
"Uhh.. itu Yah, Edi dan Edwin kompak banget sama Antok menggoda aku", keluh Eka.
"Mereka kan sudah kumpul lama jadi wajar kalau kompak, kamu sih jarang pulang!", kata ayahnya.
"Kok aku yang salah, mereka itu yang kekanak-kanak-an", tangkis Eka.
"Mereka kalau sudah kumpul memang gitu, Edo yang mau nikah pun juga gitu kalau sudah kumpul dengan Antok", kata ibunya.
Dalam hati, Eka tertawa dengan kelakuannya sendiri. Ia merasa menjadi
muda kembali ketika bergurau dengan adik-adiknya dan Antok. Sebuah
perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan selama sibuk bekerja di
Jakarta yang selalu menuntut kedewasaannya. Keberadaan Antok juga
memberi suasana baru dalam hatinya, sayangnya hal itu baru muncul
sepeninggal Edo. Ketertarikannya pada Antok semakin bertambah walau
tanpa rayuan. Sebaliknya ia malah lebih sering mendapat gurauan lugu nan
cerdik tanpa dibuat-buat setiap kali berbincang dengannya pada tiap
kali temu dalam 2 hari ini. Tak jarang pula ia menerima godaan
kekanak-kanak-an dari Antok. Semua itu cukup mengusik emosinya pada daya
tarik Antok yang aneh dan belum pernah ia jumpai pada pria-pria yang
dikenalnya.
Dari pengetahuan dan pengalamannya, Eka tahu bahwa Antok memiliki
wawasan yang luas dan sangat dalam di beberapa bagian. Ia juga tahu
bahwa Antok memiliki pola pikir mirip seperti teman-teman dan bos-bosnya
yang bule walau tak sepenuhnya meninggalkan adat istiadatnya. Cara
berpikir Antok juga cenderung praktis, dewasa dan bijak. Sikap skeptis
pada sekelilingnya sangat kuat membuatnya selalu cepat merespon keadaan
sekeliling. Satu hal yang membuat Eka penasaran adalah kenapa Antok
terlihat seperti menyembunyikan sifat-sifat positifnya dibalik
sifat-sifat kekanak-kanak-annya. Eka memperkirakan ada sesuatu yang
ditakuti oleh Antok.
Sebuah dering HP nya membuyarkan lamunan Eka. Setelah berbincang lama ia
menutup pembicaraan dengan rasa kecewa telah mengangkat panggilan
telepon dari pimpinannya tadi. Setelah berbincang sebentar dengan kedua
orang tuanya, ia pun bergegas masuk kamar dan mengemasi pakaiannya.
Sementara itu ayahnya memanggil Antok, Edi dan Edwin yang masih ngobrol
dan merokok di teras rumah.
"Eh, kakak masa ngambek sampai keburu balik malam-malam begini?", tanya
Edwin pada Eka yang dilihatnya sudah siap-siap bepergian.
Raut muka Edi dan Antok pun juga kaget dan tegang merasa bersalah pada
Eka. Apalagi Eka tak kunjung membuka mulut. Hal ini disengaja Eka untuk
membalas godaan yang dialaminya tadi.
"Mbak maafin kami deh, kami memang keterlaluan menggodanya tadi", ujar Antok.
"Iya memang kalian keterlaluan, sorry ya tak ada maaf bagi kalian", jawab Eka.
"Udah Ka, jangan bercanda lagi, ini udah malam, Malang itu nggak dekat apalagi malam begini", kata ibunya.
Walau masih bingung tapi ketiga pemuda itu sudah merasa kalau dikerjai Eka yang sekarang lagi menahan tawanya.
"Rupanya kalian juga berat ya kutinggal", ejek Eka pada adik-adiknya dan Antok.
"Jelas dong adikmu merasa berat karena nggak ada lagi yang membelikan makanan lezat", kata Antok spontan.
"Heh, Mas Antok juga ikut makan gitu lho", kilah Edi.
"Tapi itu kan sedikit, cuman ngicipin doang", balas Antok.
"Enak aja, Mas Antok habis 2 piring kok bilang cuman ngincipin doang", sergah Edwin.
Perang mulutpun terjadi antara Antok, Edi dan Edwin. Eka melihat pemandangan itu sambil tersenyum.
"Eh, sudah-sudah! Kalian kok seperti anak kecil saja, ini sudah malam", bentak ayah Eka membuat semuanya terdiam.
"Siapa yang bisa mengantar aku malam ini?", tanya Eka sambil berharap Antok bisa.
"Yuk, kita antar kakakmu ke Malang, kita bisa menghirup udara pegunungan", ajak Antok pada dua bersaudara itu.
Tapi Edi dan Edwin beralasan dengan kesibukannya masing-masing sehingga hanya Antok yang terlihat bisa.
Satu jam berselang, Antok dan Eka telah berkendaraan di jalanan luar
kota Surabaya-Malang. Antok melajukan kendaraannya dengan santai. Berdua
mereka menembus kegelapan malam sambil bercakap soal berbagai hal
ringan. Setiap hal yang mereka bicarakan selalu berkepanjangan seakan
mereka berdua memperoleh lawan bicara yang cocok. Diselingi canda dan
tawa, mereka berdua merasakan saat-saat yang tak akan mudah mereka
lupakan.
Waktu mendekati pukul 12 tengah malam ketika mereka berdua sampai
ditempat tujuan. Di sebuah pelataran hotel berbintang 1 yang mereka
masuki telah menunggu 2 orang kolega Eka. Antok menolak turun dari mobil
ketika diajak Eka karena dia merasa tak ada kepentingan dengan urusan
perusahaan Eka. Tak lama setelah Eka masuk ke lobby hotel, ia kembali
ketempat Antok memarkir kendaraannya.
"Tok, kamu tidur di kamar ini ya, aku langsung rapat sampai pagi dan
mungkin baru bisa ketemu kamu lagi besok agak siang karena setelah rapat
langsung menuju ke perkebunan", kata Eka sambil menyerahkan sebuah
kunci kamar hotel.
Antok segera bergegas turun dari mobilnya dan masuk kedalam hotel
mencari kamar yang nomernya tertera di gantungan kunci yang dipegangnya.
Dalam perjalanannya menuju kamarnya, Antok sempat berjalan bersama-sama
Eka sebelum akhirnya berpisah di lobby. Dalam kesempatan itu, Antok
menyempatkan curi-curi pandang ke arah Eka. Wanita berparas manis dengan
rambut hitam lurus sebahu yang berada selangkah didepannya itu membuat
hati Antok gusar. Sebuah perasaan yang telah terpupuk di hati Antok
makin tak kuasa ia hindari. Panah asmara yang menembus hatinya ikut
menyertai dinginnya kota Malang yang menembus jaketnya.
Tertegun didepan sebuah acara TV yang ramai, pandangan Antok masih
kosong dan hanya terisi oleh bayang-bayang wanita berwajah lonjong agak
oval dengan alis tebal, mata bersinar, berhidung mancung, berlesung
pipit dan berbibir mungil. Bayang-bayang itu tak lain adalah Eka.
Pikirannya berusaha berontak dan menaklukkan hatinya, tapi semua itu
sia-sia belaka. Hanya rasa kantuk akibat lelah yang akhirnya menyapu
kesadarannya hingga pulas.
Sendiri di dalam kamar, membuat Antok bermalas-malasan semenjak bangun.
Bosan didalam ia pun keluar dan berjalan-jalan disekitar hotel setelah
membasuh muka. Setelah sarapan dengan menu makan pagi yang telah
disediakan hotel secara gratis, Antok duduk-duduk di lobby sambil
merokok dan membaca koran. Merasa puas, ia pun kembali ke kamarnya untuk
melanjutkan bermalas-malasan.
Tak terasa waktu berjalan sangat cepat. Eka kembali dengan raut muka
terlihat lelah dan langsung membaringkan tubuhnya di tempat tidur.
Melihat Eka yang capek, Antok membantu melepaskan sepatu yang masih
dikenakan Eka.
"Urusannya bagaimana Mbak?", tanya Antok yang hanya dijawab Eka dengan kata "beres".
"Jam berapa Mbak kita bisa pulang?", tanya Antok lagi.
"Santai Tok, aku masih capek!", jawab Eka sambil melelapkan matanya.
Antok lalu duduk di kursi yang tak berjauhan dengan tempat tidur dan
memandangi Eka yang terbaring dengan lemas. Meski matanya menutup tapi
hati Eka merasakan seseorang sedang memperhatikannya. Matanya terbuka
dan melihat Antok yang masih duduk memperhatikan dirinya.
"Tok, kamu kok duduk disitu, takut ya dekat denganku? Ayo sini kalau berani!", tantang Eka dengan nada manja.
Mendengar tantangan itu, Antok memberanikan diri berbaring disamping Eka yang masih telentang diatas tempat tidur.
"Hii.. dingin ya disini", sebuah kalimat meluncur dari bibir Eka sambil memeluk tubuh Antok.
Antok hanya diam bagai guling yang bernapas. Sedikit demi sedikit kedua
kepala mereka berdekatan dan saling bersentuhan. Eka memejamkan mata
dengan bibir sedikit terbuka, menunggu reaksi Antok. Tapi Antok hanya
memandang saja wajah Eka.
"Ada apa Tok?", tanya Eka berbisik setelah membuka kembali matanya.
"Mbak cakep sekali", jawab Antok dengan pandangan mata beradu dengan Eka.
Perasaan Eka bergetar bagai lonceng yang berdentang membawa bibir
mungilnya menempel pada bibir Antok. Tanpa aba-aba, Antok melumat lembut
bibir Eka. Gelombang asmara menyapu rasio mereka berdua. Kuluman demi
kuluman datang silih berganti baik dari Antok maupun Eka. Pertautan dua
bibir menghasilkan pergumulan lidah dalam kurungan asmara dan nafsu.
Sebuah persamaan yang tidak ada bandingannya dengan rumusan matematis
yang ada sampai saat ini.
Saling memeluk masing-masing tubuh terjadi tanpa mereka sadari. Gesekan
tubuh dengan tubuh terasa nikmat bagai buaian mimpi walau masih
terhalang oleh pakaian yang masih dikenakan. Irama halus yang menjadi
awal berubah seiring dengan tindih menindih yang saling mereka lakukan
pada satu sama lainnya. Rotasi posisi mereka lakukan sambil berciuman
bibir tanpa ada habisnya.
Sesaat kemudian, Eka menghentikan ciumannya pada bibir Antok.
Berpandangan mata dengan penuh arti, tangan Eka melepas kancing dan
membuka resleting celana Antok. Antok mereaksinya dengan membuka kancing
kemeja Eka dengan pelan. Satu persatu pakaian mereka berjatuhan dari
tempat tidur.
Duduk berhadap-hadapan, mereka saling memandang tubuh bugil
masing-masing. Lekuk-lekuk tubuh yang ada didepan satu sama lainnya
merasuki pikiran mereka dan mengundang selera Antok dan Eka. Benak
mereka terisi dengan rasa bahagia akan kenikmatan yang akan segera
mereka rengkuh. Waktupun terasa berhenti bagi keduanya.
Api cinta menyulut asmara dan mengobarkan nafsu yang telah sampai
diubun-ubun Antok dan Eka. Embun duka telah mengering dan tak mampu lagi
memadamkan apa yang akan terjadi. Titik kritis dimana perbuatan ini
masih dapat dicegah telah mereka lewati. Yang tersisa saat ini hanyalah
lampu hijau traffic light yang takkan padam walau putus kabelnya.
Pelan tapi pasti, Antok dan Eka merapatkan tubuhnya. Sambil duduk beradu
pandang, mereka berdua mengusap lembut bagian tubuh masing-masing.
Bibir Eka makin terbuka mengeluarkan desahan-desahan pendek ketika
usapan tangan Antok melewati daerah kemaluannya yang telah basah. Eka
pun segera membelai batang kemaluan Antok dengan perasaan. Lalu..
Merangkul dalam pelukan masing-masing, menghantarkan hangat di tubuh
pada lawannya. Kelembutan kulit Eka menyentuh kulit berbulu milik Antok.
Pelan-pelan Eka naik keatas pangkuan Antok. Tangan Eka merarangkul
bagian belakan leher Antok. Sedangkan Antok memegang punggung Eka dan
mengusapkan tangannya naik turun. Keduanya beradu ciuman kembali dengan
sangat-sangat mesra dan dekat.
Tiba-tiba Eka melepaskan bibirnya dari bibir Antok sambil mendesah panjang, "Ahh..".
Batang kemaluan Antok yang tengah mendongkak keatas terselip masuk
kedalam liang kenikmatan Eka. Ciuman Antok mendarat di leher Eka membuat
ia tak kuasa untuk segera menurunkan tubuhnya dan membenamkan seluruh
batang kemaluan Antok kedalam lobang kenikmatannya.
Eka pun mendesah makin keras dan makin panjang, "Aaahh..". Lepas pulalah kecupan nikmat bibir Antok pada leher Eka.
Mata Eka yang sedang terpejam membelalak menatap pandang mata Antok.
Pandangan Eka bagai menembus kalbu Antok. Daya tarik keduanya sudah
seperti 2 magnet yang beda kutub. Bibir menganga Eka disambut dengan
kuluman bibir juga Antok. Sedikit demi sedikit Eka menggerakkan tubuhnya
keatas kebawah di pangkuan Antok. Gerakan pelan Eka sesekali membuat
ciumannya terlepas dari bibir Antok dan berlanjut dengan adu pandang.
Dua tubuh saling menempel dan bergesek. Dua nafas saling bersambung.
Kulit bertemu kulit. Dada Antok bagai dibelai payudara Eka yang
menegang. Belaian punting Eka yang mengeras menyentuh puntingnya.
Belaian yang lain daripada yang lain. Irama gerakan naik-turun Eka terus
berlanjut walau pelan.
"Ohh Mbak.. ohh..", ucap Antok dalam kenikmatan dengan mata berkejap-kejap.
Eka makin mempererat dekapannya dan berbisik pada telinga Antok, "Tok, aaku mauu..".
Tapi belum tuntas kalimatnya, Eka sudah mengejang hebat tak kuasa menahan tumpahan kenikmatan dalam perasaannya yang terdalam.
Seakan mengerti apa kelanjutan kalimat Eka, Antok membalas bisikan
dengan bisikannya tepat ditelinga Eka, "Lepaskan Mbaak, ohh..".
"Ahh..", desah Eka tak bergerak lagi serta bergelinjang dalam kehangatan dekapan Antok.
Dinding-dinding liang kenikmatan Eka terasa berdenyut mengantarkan tumpahan kebahagiannya.
Cairan orgasme Eka yang membasahi batang kemaluannya, dirasakan Antok
bagai guyuran gelombang asmara. Sesaat kemudian mereka berdua tak
bergerak maupun bersuara. Masih dalam dekapan Antok, Eka lemas diatas
pangkuan Antok sambil terpejam. Eka membelai rambut Antok dengan rasa
kasih sayang. Antok pun membalasnya dengan kecupan dalam di pangkal
leher Eka.
Masih tegak bertopi baja bagai tentara siap perang dalam kegelapan,
batang kemaluan Antok tak kunjung keluar dari liang kenikmatan Eka.
Dengan segenap tenaganya, Antok mengangkat lalu membaringkan tubuh Eka.
Menindih diatas tubuh Eka, Antok memandangi kecantikan wajah Eka yang
makin mempesonanya.
Tak kuasa menahan gejolak jiwanya, Antok kembali melayangkan ciumannya
pada bibir Eka. Pertautan lidah kembali terjadi walau sesaat. Bergerak
pelan dan penuh perasaan, ia menggerakkan pinggulnya naik-turun
maju-mundur.
Kaki-kaki Eka yang semula terlempang lemas, kemudian mengapit kaki-kaki
Antok yang tengah berada diantaranya. Antok terus menggerakkan
pinggulnya dengan irama yang menghanyutkan. Membawa dirinya bersama Eka
meniti tangga gairah menuju puncak kenikmatan.