Namaku Kuntadi Priyambada. Aku biasa di pangil Kun. Kedua orang tuaku sudah meninggal, Ketika itu aku baru kelas 2 SMP, Aku terpaksa ikut Mas Pras. Dia adalah anak ayah dari isteri pertama. Jadi aku dan Mas Pras lahir dari ibu yang berbeda. Mas Pras ( 30 tahun ) orangnya baik dan sayang kepadaku, tapi istrinya……… wah judes, dan galak. Ketika Ibuku meninggal, yang mengakibatkan aku jadi sebatang kara di dunia, Mas Pras baru seminggu menikah. Kehadiranku di keluarga baru itu, tentu sangat mengganggu privasi mereka. Rumah kontrakan sempit hanya ada tiga kamar. Kamar tidur, kamar tamu dan dapur. Aku merasakan sikap yang kurang enak ini sejak aku hadir di situ.
“Kun, kamu tidur di kursi tamu dulu, ya…? Atau di karpet juga bisa. Kamu tau kan, memang tidak ada tempat?” Mas Pras menyapaku dengan lembut.”Sama Mbak-mu harus nurut. Bantu dia kalu banyak pekerjaan” Aku hanya mengangguk. Aku tidak begitu akrab dengan Mas Pras, karena memang jarang bertemu. Aku di Jogja, Mas Pras kerja di Semarang. Nengok ibu (tiri) paling setengah tahun sekali. Sambil mengirim uang buat biaya sekolah aku.
Kakak lalu berangkat kerja. Dia adalah sopir truk antar-propinsi. Saat itu aku putus sekolah. Di Jogja belum keluar, tapi di Semarang belum masuk ke sekolah baru. Sehari-hari di rumah sempit itu menemani kakak ipar yg baru seminggu ini kukenal. Rasanya aku tidak krasan tinggal di “neraka” ini. Tapi mau ke mana dan mau ikut siapa?
Pagi itu aku sudah selesai menjemur pakaian yang dicuci Mbak Narsih. Kulihat dia lagi sibuk di dapur.
“Mbak, saya disuruh bantu apa?” aku mencoba pedekate dengan Mbak Narsih.
“Cah lanang, bisanya apaaa. Sana ambil air, cuci gelas, piring dan penuhi bak mandi.” Sakit telinga dan hatiku mendengar perintahnya yang kasar. Tanpa ba-bi-bu semua kulaksanakan. Karena tak ada lagi yang mesti dikerjakan lagi, iseng-iseng aku nyetel radio kecil di meja tamu (Kakak gak punya tivi)
“E…malah dengerin radio……….sana belanja ke warung” aku diberi daftar belanjaan. Untungnya aku sudah biasa membantu Ibu ketika beliau masih ada. Aku hidup bersama Ibu sejak kecil, karena ayah sudah lama meninggal. Agak jauh warung itu. Aku tidak malu-malu dan canggung beli sayuran, malah Bu Salamun, yang jual sayur heran, “Mbok, nyuruh pembantunya, to cah bagus. Kok belanja sendiri.” Aku cuma senyum saja. “Ini, Mbak, belanjaannya. Ini susuknya.” Kuserahkan tas kresek dan uang kembalian, tapi Mbak Narsih tetep sibuk marut kelapa. Kutaruh saja tas kresek itu di kursi kayu dekat kompor minyak. Memang kesannya dia baru marah. Padahal aku tidak merasa melakukan kesalahan apa pun. Tanpa disuruh aku ikut mengupas bawang, memetik sayur dan menyiapkan bumbu yang tadi kubeli. “Mau bikin sayur lodeh,to Mbak?”
“Sok tau………..” jawabnya ketus. Dia mulai masak. Aku keluar saja. Ada rasa ngeri deket-deket orang marah. Di luar aku nggak berani dengerin radio lagi. Ingin rasanya aku menangis dan pergi dari rumah ini. Aku duduk di teras rumah melihat orang berlalu lalang di depan rumah. Tiba-tiba aku membaui masakan yang gosong. Tapi aku tidak berani masuk. Takut dibentak istri Mas Pras yang cantik tapi guualakke pol itu.
“Kuuuuuunnn…………..sini” Mbak Narsih berteriak memanggil. Aku bergegas masuk. Kulihat dapur berantakan. Panci sayur di lantai, sayur tumpah. Kursi tempat menaruh bumbu sudah terguling.Bumbu bertebaran di lantai. Dan…. kompor menyala besaar sekali. Untung aku tidak ikut panik dan bisa berpikir cepat.
“Mbaaaakk…kenapa tanganmu?” Kulihat tangannya merah melepuh, Tangan Mbak Narsih sepertinya ketumpahan kuah tapi perhatianku lebih tertuju pada kompor yang menyala besar sekali,. Cepat kuambil keset di ruang tamu, kubasahi dengan air cucian dan kututupkan ke kompor yang menyala itu. Sesaat kemudian kompor itu padam. Cepat kupetik papaya di depan rumah ( padahal itu milik Lik Yanto, tetangga) kubelah pakai pisau. Lalu getahnya kuusapkan ke tangan Mbak Narsih yang melepuh.
“Jangan…nanti sakit….ngawur….aduuuuh,,,” Mbak Narsih menangis dan aku nekad menutup lukanya iu dengan sayatan-sayatan papaya mentah. Luka itu akhirnya tertutup semua dengan sayatan buah papaya. Keliatannya usahaku berpengaruh. Mbak Narsih agak tenang sekarang.
“Sudah dingin, Mbak?” aku menatap dengan iba kakak iparku yang malang ini. Air matanya meleleh. Dia diam membisu sambil menggigit bibirnya menahan sakit. Pasti panas dan perih, aku tahu itu.
Oya, mampir juga untuk membaca cerita pasas 17 tahun yang tak kalah seru lainnya: Kisah di Hutan Karet.
“Kun, kita gak bisa makan siang.” Akhirnya keluar suara Mbak Narsih, pelan tidak galak lagi.
“Wis Mbak, istirahat saja, masih sakit kan?” kutegakkan kursi yang terguling dan kutuntun Mbak Narsih duduk. Dapur segera kubersihkan. Kompor bisa menyala lagi. Sisa-sisa bumbu yg ada kupakai untuk masak sayur pepaya. Aku sudah terbiasa membantu Ibu, jadi ini hanya suatu kebiasaan. Mbak Narsih hanya melihat aku sibuk di dapur tanpa komentar. Dia terus-terusan mengaduh kesakitan. Tapi aku mendahulukan selesainya pekerjaan di dapur. Sayur sudah masak. Nasi sudah ada. Semua kuatur di meja tamu yang sekaligus menjadi meja makan.
“Mbak, mau makan? Tak ambilke, ya?” Mbak Narsih hanya memandangku dengan mata basah.
“Kun, kamu baik, ya? Terimasih, ya Dik, tapi kedua tanganku melepuh begini, dan ini perutku perih sekali. Kulihat perut Mbak Narsih, Astaga…. Ternyata daster sebelah kiri sudah terbakar dan perut Mbak Narsih bengkak kemerah-merahan. Aku cari sisa-sisa irisan papaya tadi. Aku parut lembut dan kuparamkan di perutnya. Waktu itu aku tidak berpikir macem-macem, karena perhatianku pada penderitaannya. Dia agak tenang sekarang.
“Ambilkan daster Mbak yang utuh di lemari, Kun. Yang kupakai ini dibuang saja, sudah separo terbakar.”
Aku ambilkan daster pink di lemari lalu….aku berhenti dan termangu di depan Mbak Narsih.
“Ayo, buka daster yang terbakar ini. Tolong diganti dengan yang kamu ambilkan tadi.” Mbak Narsih melihat keraguanku tadi. ‘Pelan, pelan…. Ada yang masih lengket di kulit…ssss… adduuuh”
Akhirnya daster itu bisa kulepas. Baru kali ini aku melihat dengan jelas dan dari dekat, wanita setengah telanjang. Mbak Narsih berkulit putih bersih. Perutnya rata dan…. yang terbungkus di bra hitam itu bulat putih dan besaar. Aku terpesona sesaat.
“Ayoooo….. dingiiin, Kun. Cepat ambil daster pink itu” aku tersadar dari pesona keindahan di depanku segera memakaikan daster itu.
Siang itu aku menyuapi Mbak Narsih. “Enak, Kun, masakanmu. Kamu kok bisa masak, to?”
“Halah, aku Cuma liat Ibu masak dan sering membantu Ibu.” Tapi dalam hati aku bangga memperoleh perhatian seperti itu.
Cerita Panas 17 Tahun| Lik Yanto dan Mbak Saodah, isterinya, datang menengok dan memberi salep dingin. Tiap hari, pagi dan sore aku mengolesi luka-lukanya. Kedua tangan, jari, dan perutnya. Tiga hari aku merawat Mbak Narsih ……. suasana sudah berubah total. Keadaan dia, dua tangannya nyaris nggak bbisa pegang apapun. Telapak tangan melepuh, membuat dia menyadari bahwa saat itu, aku diperlukan, selama Mas Pras belum pulang. Karena tiap pagi dan sore, mengepel tubuhnya, aku bisa melihat dari dekat seperti apa tubuh wanita dewasa itu. Saat aku mengelap tubuhnya, aku jadi tau, bentuk payudaranya yang bulat dan kenceng, putingnya yang coklat dipucuk gunung putihnya, Saat kulepas celdamnya, bisa kulihat bibir bawahnya yang indah berambut tipis. Pangkal pahanya lebih putih daripada sekitarnya. Memang Mbak Narsih wanita cantik sempurna. Kakakku tidak salah memilih pasangan hidupnya. Mas Pras ganteng, Mbak Narsih cantik. Hidungnya mungil tapi tidak pesek. Runcing indah di atas bibirnya yang mungil. Seperti Yuni Shara, tapi tubuh kakakku jauh lebih besar dan lebih tinggi. Tanpa kusadari, aku kok merasa asyik merawat kakakku ini. Pengen nya hari segera sore atau kalau malam ingin segera pagi. Ada kerinduan untuk melihat keindahan itu. Ah, berdosakah aku? Sering aku diam melamun diombang-ambingkan perasaan ingin menikmati tapi juga merasa bersalah kepada Mas Pras.
Setelah tiga hari hanya di lap dan dipel dengan handuk basah., pagi itu dia minta dimandikan dengan air hangat. Kusiapkan air hangat di baskom. Mbak Narsih duduk di kursi kayu, kamar mandi kubiarkan terbuka, agar ruangan lebih luas dan aku bisa ikut masuk mengguyur tibuhnya dan memandikannya. Aku merasakan kehalusan kulitnya saat aku menyabuni tubuhnya. Pahanya yang mulus dan bersih, pundak dan lehernya yang jenjang dan putih. Tadinya aku ragu-ragu untuk menyabuni susunya. Tapi Mbak Narsih dengan “marah” memaksaku menyabuni bukit kembarnya itu.
“Kun, terus saja gosok dan putar-putar di situ, biar bersih.” perasaan sudah bersih banget, kenapa disuruh menyabuni terus. Melihat kemontokannya terasa celanaku jadi sempit.
“Nah. Diputar putar gitu, Kun. Terus dari bawah diangkat sambil digosok.” Mbak Narsih terus member pengarahan. Kusangga payudaranya naik, lalu sedikit kuremas dan kupijit. Mbak Narti tidak protes, Cuma memandang ke payudaranya yang semakin menggembung montok itu. Apalagi kedua tangannya diangkat naik karena takut telapak tangannya yang luka terkena air, sehingga keteknya yang bermbut tipis itu terbuka lebar. Payudaranya terangkat naik.
“Sekarang, ambil air lagi, diguyur pelan-pelan. Sambil dihilangkan sabunnya.” Kuguyur merata, dan sisa-sisa busa larut ke bawah menampakkan kecerahan kulitnya yang semakin terang. Aku yakin tanpa lampu pun kamar mandi itu akan terang benderang karena kecerahan kulitnya.
“Dikosoki, Kun biar dakinya ilang.” Mbak Narsih mengulang lagi. Mulutku terkatub rapat sambil menggigit bibir, menahan perasaan aneh di hati, kugosok-gosok sisa sisa sabun yang terasa licin itu.
Memang enak rasanya menyentuh daging empuk ini. Aku malah setengah meremas pada ujung-ujungnya. Aku heran kenapa pucuknya keras. kenapa setiap aku remas ujung susunya, Mbak Narsih memejamkan matanya. “Masih sakit, Mbak?” Dia Cuma menggeleng tapi tetap mata terpejam.
“Kun, sudah tiga hari ini Mbak nahan untuk tidak ke WC, tapi perutku sudah sakit banget. Aku mau ke WC, Nanti tolong kamu semprot ya anuku, pakai toler air. Tanganku masih melepuh.” Mbak Narsih jongkok di WC, pintu kututup. Wah, baunya sampai juga di luar. Aduuuh, tugas berat nih, keluhku dalam hati membayangkan kotoran yang baunya saja sudah begitu menyengat. Kupijit hidungku.
“Kun, buka pintu WC dan semprot aku ya” kudengar suaranya dari dalam. Sudah kusipkan air yg kuberi sedikit obat pel yang wangi. Kubuka kran dan kutembakkan “water kanon” itu untuk membersihkan kotoran yang menempel di sana. Lalu Mbak Narsih membalikkan badan, membelakangiku. Pantatnya yang besar dan putih itu terpampang di hadapanku,”Semprot, Kun….!” Aku arahkan dari bawah air itu menyemprot lubang anusnya.
“Sudah bersih belum Kun?” Mbak Narsih nungging, terlihat dua lubang dobel. Berwarna pink semuanya. Ooo, seperti ini bentuk tempik perempuan dewasa dari dekat? Celanaku semakin mengggembung.
“Sudah belum? Kok lama sekali lihatnya?” dia protes
“SSssuudah…Mbak, jelas sekali…eeehh bersih sekali” aku jadi salah tingkah dan keseleo lidah.
“Sekarang ambil sabun. Tolong sabunilah biar hilang baunya. Tanganmu gak akan kena kotoranku lagi”
Haaaa…. Menyabuni “ituuu?” Aku kok jadi bersemangat, tapi kusembunyikan kegiranganku itu dengan bersikap senormal dan setenang mungkin. Kugosok anusnya dengan sabun, lalu kemaluannya secukupnya, kemudian kubilas lagi dengan semprotan air wangi tadi..
Pengin-nya aku mau lama-lama, tapi aku malu. Waktu meraba belahan kemaluan Mbak Narsih tadi, punyaku berkedut-kedut hebat seperti mau kencing.
“Kun, kok cepet-cepet, ya nggak bersih dong.” Sergah Mbak Narsih dengan raut marah.”Ayo lagi”
Aku ambil sabun lagi. Lubang duburnya kuusap-usap pelan, dari belakang kulihat bokong putih itu terangkat-angkat saat aku mengusap tadi. Seluruh permukaan bokongnya kusabuni dengan penuh perasaan. O, bersihnyaaaa..ooo putihnya…. Lalu kutelusupkan jariku maju ke “garis” di depan sana. Ternyata jariku “keceplos” ke dalam alur yang basah dan hangat. Di dalam terasa ada keduta-kedut yg menjepit jariku. Seperti aliran listrik, menjalar ke celanaku terasa juga kedutan kedutan liar di yang semakin terasa.
“Terus saja, Kun, teruussss….. nah.. pinter kamu, Kun…” Mbak Narsih menggumam seperti ngomong sendiri. Aku semakin tak bisa menahan kedutan di celanaku. Tak terasa dan tak kusadari, jariku bergerak menusuk semakin dalam ke “sana” seiring rasa yg kurasakan. Ujung jariku terasa menggapai-gapai sesuatu yang menonjol di dalam “sana” dan Mbak Narsih mendesis ; “Aaaaahhhh.. ssssshhh…” mendengar rintihan Mbak Narsih, aku semakin “menderita” karena ada semacam gelombang getaran yang mau menjebol benteng. Jariku bergerak maju-mundur semakin cepat, dan gelombang itu semakin mendekat.”Aaaahhhh…Mbak..”
Bersamaan dengan itu Mbak Narsih juga merintih,”Ahh ssshhh,,,, aku keluaarrrr…oooohhhh”
Aku merasa ada yang keluar di celanaku. Aku ngompol! Padahal aku tidak tidur? Tapi kok enaaak sekali? Tiba-tiba aku merasa malu, takut kalau Mbak Narsih menoleh dan melihat celanaku basah. Mbak Narsih keliatan lemes tapi wajahnya mengekspresikan kepuasan. Setelah kulap dengan handuk seluruh tubuhnya, aku kenakan daster yang bersih. Rambutnya aki sisir rapi. Mbak Narsih diam saja dengan sikap manis. Pagi ini terlihat dia sangat cantik. Sambil menyisir rambutnya, kupandangi sepuasnya makhluk cantik di hdapanku sepuas-puasnya.
Seminggu kemudian Mas Pras pulang. Perban sudah dilepas, tapi tangan jadi belang.
“Kenapa, Sih, tanganmu?” Mas Pras terlihat kuwatir.
“Kompornya meledak. Untung ada pahlawan kecilmu.” Mas Pras mengelus kepalaku. dia tersenyum. Aku jadi bangga campur nalu. Aku khawatir Mbak Narsih cerita kalau aku menyeboki dia. Aku berdebar-debar terus. Untung Mbak Narsih malah cerita kalau aku ternyata pinter masak.
“Dik Narsih, Kuntadi ini juara masak dalam lomba masak di sekolahnya. Dia juga bintang lapangan basket.” Pujian Mas Pras membikin aku semakin malu saja. Meskipun itu memang benar.
Malam itu aku sudah bebas tugas menjaga Mbak Narsih. Kecuali tangannya sudah pulih, Mas Pras sudah datang. Jadi biarlah semuanya dilayani oleh suaminya. Aku menjatuhkan diri di sofa kamar tamu disergap rasa lelah luar biasa dan langsung tertidur lelap. Padahal itu baru jam enam sore. Tengah malam, aku terjaga. Sayup- sayup aku mendengar suara orang menangis, tetapi diberangi suara mendengus-dengus….Aku diam mendengarkan. Itu datangnya dari kamar Mas Pras. Ahhh…rupanya Mas Pras sedang “anu” dengan Mbak Narsih. Aku harus pura-pura tidur lelap. Aku merasa tidak sopan kalau nguping kegiatan mereka. Tetapi mataku tak mau dipejamkan lagi. Aku memang sudah puas tidur sejak petang tadi. sekarang mendengar suara Mbak Narsih nerintih dan menangis…. jadi ingat kejadian di kamar mandi kemarin. Terbayang lagi tubuh Mbak Narsih yang seksi dan putih mulus. wajah cantiknya ketika menangis sambil berkata,” kamu …baiiik… Kun”. Ada perasaan aneh menguasai diriku. Tak ada lagi wanita galak, yang ada wanita cantik yang pernah aku raba seluruh tubuhnya. Beraneka pikiran berkecamuk di kepala mengantarkanku ke alam mimpi indah, bertemu wanita cantik… wanita itu memperliatkan tubuhnya yang telanjang bulat. Kemaluannya didekatkan ke batangku Dia mendekatkan lubang itu ke arahku lalu memasukkannya ke sana. Suatu rasa yang nikmat menjalari sekluruh pori-pori kulitku dan…….ketika terbangun celanaku basah.
Tak terasa sudah dua bulan aku ikut Mas Pras. Beliau masih sering tugas luar kota. Kali ini beliau ada di Lampung dan Palembang selama dua bulan. Gaji hanya dititipkan kantor. Aku sering disuruh Mbak Narsih mengambil gajinya di kantor Mas Pras. Meskipun Mbak Narsih sudah baik, tapi sifat judesnya tak mau hilang. mungkin sudah pembawaan. Wah…. Kalau memerintah… harus dilaksanakan tanpa protes. Aku membuat kelalaian sedikit saja, bisa dia “menyanyi” sepanjang hari. Maka aku harus hati-hati kalau ngomong atau bertanya sesuatu. Aku harus membereskan semua pekerjaan di rumah, baru aku berani keluar untuk maen. Paling suka aku ke lapangan maen sepakbola dengan anak-anak tetangga pada sore hari. Kalo pagi aku suka “menghilang” di rumah Oom Yanto tetangga depan rumah untuk baca Koran atau majalah. Bulik Saodah cukup ramah. Dia mengerti kalo aku sedang “mengungsi” di situ, Aku sering curhat kepada Om Yanto dan isteriya tentang perlakuan Mbak Narsih.
“Kenapa ya, makin hari Mbak Narsih makin sering marah-marah tanpa tahu sebabnya?”
“Sabar dan cuek saja. Mungkin dia jengkel karena Mas Pras nggak pulang-pulang.” Om Yanto mencoba menganalisa. “Maklum kan manten anyar?”
“Dia tidak marah sama kamu Dik Kun,” Bulik Saodah menambahkan, “ tapi sama keadaan rumah yang membosankan. Dia butuh hiburan, penyegaran.” Aku sedikit memahami penjelasan mereka.
“Dik Kun saya nilai anak yang baik, lho. Jaman sekarang, hampir tidak ada anak laki-laki yang bisa trampil ngurus pekerjaan rumah tangga.” Bulik mencoba memberi support dan aku merasa terhibur.
Meskipun aku di rumah Om Yanto, tetapi aku selalu mengawasi keadaan rumah. Supaya kalau sewaktu-waktu dicari, aku sudah siap datang. Terlambat sedikit, bisa pecah kemarahannya.
Jam satu, saatnya makan siang. Aku harus pulang, menyiapkan meja makan. Memang aku merasakan, sepertinya aku ini bukan sebagai adiknya Mas Pras, tetapi lebih sebagai pembantu rumah tangganya Mbak Narsih. Tetapi sampai di rumah, aku melihat piring kotor dan gelas kosong di meja makan. Sayur juga sudah ada di meja makan. Berarti Mbak Narsih sudah makan. Tetapi kok nggak ada. Aku menengok ke kamar tidurnya, tidak ada. O, pasti di kamar mandi. Ya, sudah aku makan sendiri saja. Baru satu sendok aku makan, terdengar suara dari kamar mandi, “Hooeeeek……” Aku berhenti makan dan berdiri bimbang, harus apa aku? “Hoooeeeek….” O, mungkin ini tanda Mbak Narsih hamil. Aku mendekati pintu kamar mandi. “Sakit, Mbak?” “Hoooeeeek…” itu jawabannya. Aku mencoba mengetuk pintu kamar mandi yg terbuat dari seng itu, ternyata tidak dikancing, Kriiiit… terbuka dengan sendirinya. “Kun, aku mual banget.” Aku masuk dan menggandengnya keluar. Kududukkan di kursi ruang makan. Dia lalu merebagkan kepalanya di meja makan. Lemas. Badannya basah kuyup keringat dingin. “Sudah makan, Mbak?” sebetulnya aku nggak perlu Tanya, jelas baru saja dia makan dan habis banyak. Itu bisa dilihat dari sisa nasi di tempat nasi. “Sudah. …..Kun….bawa aku ke tempat tidur.” Lirih suaranya. Kupapah jalannya ke kamar. Satu tangannya di pundakku. Satu tanganku di pinggangnya.
Kurebahkan pelan-pelan tubuhnya dan kuberi bantal yang agak tinggi.
‘Kamu kok lama sekali di rumah Mas Yanto. Enak di sana ya?” pelan suaranya, tapi terasa menusuk perasaanku. Aku merasa bersalah.
”Aku …aku cuma baca-baca koran kok Mbak. Di rumah kan nggak ada bacaan.”
“Aku tau Kun” Mbak Narsih meraih tanganku disuruh duduk di tepi tempat tidur. “Mbak Narsih galak, kan?” Aku benar-benar jadi kikuk. Mau ngomong apa? Mau bilang tidak, nyatanya memang dia galak. Mau bilang nggak, pasti dia tau kalau aku bohong.
“Aku cuma takut saja, Mbak, kalau pas marah.”
“Maafin Mbak, ya Kun. Aku merasa sendirian kalau kamu pergi main atau kamu begitu krasan di rumah Mas Yanto.” Mbak Narsih menarik diriku hingga mukaku jatuh ke wajahnya. Diciumnya bibirku.
Lidahnya memaksa mulutku untuk terbuka. Di kulumnya bibirku. Aku gelagapan, tapi aku tidak berusaha menghindar. Rengkuhan tangannya begitu lembut penuh kehangatan. Kita berdua berciuman beberapa saat. Mula-mula aku pasif tapi lama-lama aku bisa mengikuti caranya. Lidanya pun kadang kusedot. Karena aku tidak bisa benafas aku mencoba melepaskan diri.
“Kun, …… jangan tinggalkan Mbak sendirian” matanya sayu dan mengiba. Sama sekali tidak terlihat galak dan judesnya. Sungguh penampilan yang sangat berbeda.
“Bisa pijit aku ya Kun, biar agak enteng mualku?” pintanya sambil memegang erat kedua telapak tanganku. Tatapan matanya menyihirku untuk mengangguk. “Pintunya ditutup dulu, nanti ada kucing masuk” Aku segera menutup pintu depan. Memang kucing putih punya tetangga sudah dua kali membongkar tudung saji di meja makan. Aku kembali ke kamar sambil membawa obat gosok.
“Gak usah pake minyak itu. Panas. Dipijit saja pelan-pelan. Lututnya dinaikkan dan roknya melorot ke pangkal paha. Kini nampaklah pahanya yang putih itu. Kupijit lututnya pelan-pelan. Aku tidak berani pegang pahanya. Tetapi dia malah menarik roknya lebih ke atas dan menyuruh pijit pahanya. Aku pijit dengan ragu-ragu. Telapak tanganku merasakan kulit Mbak Narsih begitu hangat. Pijatan-pijatan ku menjadi tidak terarah, karena saat kulirik ke atas, di pangkal paha itu….. tak ada secuil kain pun menutupi kemaluan Mbak Narsih. Keringat bermunculan di wajahku, mataku jadi terasa panas. Gigiku gemeletuk seperti kedinginan. Aku heran, kenapa aku ini. Apa aku ketularan sakitnya Mbak Narsih.
“Mijitnya pindah ta, Kun. Kok di situ terus. Paha yang satunya.” Sambil bilang begitu dia mengangkat pantatnya dan melolos roknya lepas. Kini tubuhnya bugil-sebugil-bugilnya. Tanganku dipegang dan dituntun ke garis di tengah tenpiknya. Aku menurut saja. Kuurut-utur bibir bawahnya yang segera basah dan terbuka sendiri. Kulihat cairan bening mengalir. Tubuhku semakin gemetar dan rasanya ingin sekali aku kencing. Kemaluanku mengeras sehingga seperti terjepit rasanya.
“Mbak, aku mau pipis dulu….” Aku memberanikan diri memohon.
“Sini, sini, aku lihat. Apa kamu benar-benar mau pipis.” Diturunkannya celanaku dan dikuakkan CD-ku ku samping, sehingga batangku yang sudah sekeras pentungan satpam itu teracung. Aku malu sekali. Tapi aku juga ingin benda itu dipegangnya. Dibelai-belainya “helm”ku dengan lebut. Segera gelombang kenikmatan mengalir seperti listrik ke pusat syarafku. Tangan kiriku masih di lubang tempiknya dan terus mengorek-ngorek di kedalamannya. Kurasakan dinding-dinding lembut yang hangat dan basah itu berkedut-kedut. “Mbak…Mbak…aduuuuh sudah Mbak…aku mau kencing Mbak…”
Dilepaskannya kemaluanku dan menurun pula irama gelombang itu, Anehnya, aku merasa kecewa, ingin dipegang tangan Mbak Narsih lagii. Aku melihat susu yang begitu montok dan putih menntang dan didorong oleh nafsu yang sudah mendidih, kuremas dan kuelus bukit kembarnya. Aku lupa diri. Malahan tanpa disuruh aku mengulum ujung susunya yang kemerah-merahan itu. Kiri, kanan, kiri lagi. Mbak Narsih menggelinjang dan mendesis. “Enak Kun….yang kanan Kun…”
“Terusss…Kun, kamu pinter yang kiriiii……terussss…. Dipijit-pijit terus…”
Entah kapan aku melepaskan pakaianku, tau-tau aku sudah tak berpakaian lagi. Aku berdiri di samping tempat tidur. Mbak Narsih menyorongkan lubangnya di depanku. Pahanya dinaikkan di pundakku. Terasa berat kakinya bagi tubuhku yang masih kerempeng.
“Kun, masukkan ke situ,,,,,cepat….aku sudah nggak tahan…”
Aku kagum melihat punyaku bisa sebesar dan sepanjang itu. Belum pernah kulihat sebelumnya. Sepertinya hari ini sudah berubah jadi naga raksasa. Kudorong pelan-pelan kerah lubang Mbak Narsih yang putih kemerahan itu. Pertama kali menyentuh bibir bawahnya, aku merasakan kenikmatan yang belum pernah aku rasakan. Geli tetapi enak. Makin ke dalam semakin hangat dan nikmat. Tak kuhiraukan rintihan Mbak Narsih, dia menangis seperti malam-malam dulu ketika bersama Mas Pras.
“Kuuuuunnnnn……. tusuk yang dalam…..dalam….dalam….ahhhhh”
Kini gemeretak gigiku sudah hilang, tetapi keringat membanjir luar biasa. Demikian pula Mbak Narsih, sprei jadi kusut dan basah kuyup. Diputar-putarnya pantatnya, sehingga aku makin kesetanan menusuk. Mbak Narsih terus duduk dan aku diberi dua bola bulat putih untuk kupetik dan kukulum. Tapi aku tidak kuat menahan beban tubuhnya. Kujatuhkanlah dia ke kasaur, lalu aku naik. Setan sudah menguasaiku. Mbak Narsih kini telentang, wanita cantik yang galak dan judes itu, kini menyerah di bawah sana. Kedua pahanya yang mulus dan putih kubentangkan, sehingga kemaluannya semakin terbuka. Sambil berlutut kusodokkan lagi senjataku ke sana. Terasa lebih dalam sekarang, karena ada ruang yang lebih bebas. Terdengar suara crop crop crop, seperti memompa dengan kelep yang basah. Wajahnya yang cantik itu menyeringai jadi jelek karena menahan rasa nikmat yang luarbiasa . Mulutnya menganga, matanya menatap liar. Hossss…..husssss…hhhhh…..napasku dan napas Mbak Narsih seperti seperti nafas orang berlari mendaki bukit. Makin cepat gerakan maju-mundurku semakin memuncak terasa gelombang datang bergulung-gulung berusaha menjebol benteng pertahanan. Mbak Narsih mengangkat pantatnya, tangannya menekan kuat-kuat pantatku sehingga batangku tertancap dalam-dalam di lubang kenikmatan itu saat pertahanku jebol. Mbak Narsih juga sama, cengkeraman tangannya di pantatku begitu kuat seakan kuku-kukunya tertancap di dagingku.
“Kuuuunnnn……………akuuuuuuuuu……keluar…..”
“Mbaaaaaakk……..oooohhhhh……..” berapa kali senjataku memuntahkan peluru aku tak sempat menghitungnya. aku terkulai di perut Mbak Narsih.
Keadaan jadi sunyi sekarang. Kupeluk kakak iparku. Dia pun memelukku bagaikan seorang ibu memeluk bayinya di pangkuannya. Badanku memang terlalu kecil dibandingkan tubuhnya yang bongsor
Mulai saat itu secara teratur aku diberi ( atau memberI ) ” jatah harian” di saat-saat Mas Pras tidak ada di rumah. Kalau sifat galaknya kambuh itu tanda Mbak Narsih “minta”. Benar kata Bulik Saodah, Mbak Narsih kesepian dan haus minum “es lilin”
Sekarang baru aku tau bahwa saat itulah aku kehilangan keperjakaanku. Setaun kemudian aku lulus SMP Saat itu Mbak Narsih melahirkan. Anaknya cewek berkulit hitam seperti kulitku. Padahal Mas Pras dan Mbak Narsih itu putih semua. Nggak taulah. Itu anak siapa? Tapi sampai cerita ini kutulis, Mas Pras tetap mengira kalau Shamira itu anaknya. Anak tunggalnya, Mbak Narsih tak pernah hamil lagi, menurut dokter (Mbak Narsih member tahuku ) Mas Pras punya gangguan kesehatan.