Kang Asep masih di Belanda dan tidak akan pulang dulu dalam waktu satu
setengah bulan ini. Teh Widya, istri Kang Asep, sepupuku, masih sibuk
mengurusi perusahaan tours and travel miliknya. Sedangkan aku, Willy,
sedang memandang cermin di depan dan dengan seksama kutelusuri perutku
sendiri.
"Hmm, otot perutku sudah lumayan juga!", pikirku bangga.
"1.., 2.., 3.., 4.., 5.., 6.., Yup enam buah petak."
Sepulang kuliah, aku langsung pergi ke pusat kebugaran tubuh. Memang
itulah hobiku, aku termasuk cowok yang sangat mementingkan penampilan.
Apalagi semenjak kejadian beberapa waktu lalu bersama Teh Widya. Aku
sangat suka dengat tubuh sempurnanya Teh Widya. Dan aku juga ingin agar
Teh Widya tergila-gila melihat tubuhku. Teh Widya dan Aku memang selalu
menjaga kebugaran tubuh agar selalu tetap fit.
Sehabis mandi dengan hanya menggunakan celana jeans Levis 501. Aku
merebahkan tubuhku sebentar di tempat tidurku. Aku ambil remote control,
dan mengarahkan ke sound system dikamarku. Blue Danube Waltz karya
Johann Strauss yang dibawakan oleh Vienna Opera Orchestra dengan Peter
Falk sebagai conductor-nya mulai menggema di kamarku. Aku letakkan kedua
telapak tanganku di bagian belakang kepalaku sebagai pengganti bantal.
Keadaan tubuh yang dingin sehabis mandi disertai rasa lelah sehabis
membakar lemak dan membentuk tubuhku di pusat kebugaran membuat mataku
terasa mulai berat, dan.., beberapa saat kemudian aku tak ingat apa-apa
lagi.
Entah mengapa, aku bermimpi sedang bermain bersama kucing kesayanganku
yang sudah lama tiada. Dalam mimpiku aku kembali menjadi aku yang masih
kecil. Aku berlari berusaha mengejar kucingku yang sedang berlari dan
melompat berusaha menangkap kupu-kupu yang sedang terbang di sela-sela
bunga anggrek milik ayahku. Aku sangat gembira sekali saat itu. Akhirnya
kucingku tak sanggup lagi mengejar kupu-kupu itu seperti aku yang tak
sanggup lagi mengejar kucing kesayanganku itu. Aku duduk di kersi tepat
disebelah bunga anggrek berwarna ungu kesayangan ayahku. Kucingku
mengikutiku dan duduk di pangkuanku. Terasa di perutku bulu-bulu halus
kucingku yang sedang menjilati kaki depannya. aku mulai kegelian,
rasanya geli sekali.., ingin rasanya aku tertawa.., ha, ha.., hi, hi..,
hingga saking gelinya akupun terbangun.
Aku mulai membuka kedua kelopak mataku perlahan. Aku merasakan sesuatu
yagng membuatku geli di perutku, tapi itu bukan kucing lagi seperti yang
di dalam mimpi. Ternyata.., yang membuatku geli adalah..,, sebuah
telapak tangan yang mungil dan mulus sedang mengusap-usap perutku. Aku
kaget dan secara refleks aku menengadahkan kepala untuk mencari tahu
tangan siapakah itu gerangan.
"Oh.., Teh Widya.., baru pulang Mbak..?" tanyaku lirih.
Teh Widya hanya menundukan kepalanya. Setiap aku menatap Teh Widya,
selalu aku tertegun dan terpesona dibuatnya. Wajahnya yang sangat
cantik.., sudahlah.., tak mungkin aku lukiskan keindahannya dengan
kata-kata.
"Nggak, Mbak udah dari tadi sampe di rumah, bahkan Mbak udah sempet mandi segala", jawabnya.
Memang tampak olehku rambutnya yang hitam legam, panjang dan tebal itu masih sedikit basah.
"Aduh.., eh.., apa-apan neh..!"
Aku tak bisa menggerakan kedua tanganku dan kedua kakiku. Aku berusaha
menggerakannya, akhirnya aku sadar kedua tanganku terikat ke bagian kiri
dan kanan tempat tidurku, sedangkan kakiku terikat ke bagian bawah
tempat tidur. Keadaanku saat itu perses seperti orang yang di salib.
"Aduh Mbak, jangan bercanda ah..!"
"Aku nggak bisa ngapa-ngapain neh..!"
"Mbak.., aduuh, geli ah..!"
Teh Widya hanya tersenyum dengan tak mempedulikan ocehanku. Dia terus
meraba perutku dengan jari jemari lentiknya. Teh Widya terus menyusuri
setiap lekukan di perutku.
"Aduh.., Mbak udah ah.., nggak tahan neh..!", kataku memohon.
"Sst.., diam ah.., jangan banyak omong..!", kemudian Teh Widya menghentikan permainan jarinya di perutku.
"Aku nggak bisa tenang tadi di kantor, rasanya pengen cepet pulang dan ketemu kamu", ujar Mbak Wid sambil membelai rambutku.
"Pekerjaan Mbak di kantor jadi nggak bener, Mbak nggak bisa konsentrasi
mikirin kamu. Dan pekerjaan Mbak jadi sedikit kacau. Untuk itu, kamu
harus dihukum..! Dan sekarang kamu harus siap menerima hukuman kamu",
kembali ujar Teh Widya sambil mengedipkan sebelah matanya yang
membuatnya semakin cantik.
"Oh..God, The Fallen Angel..!", kataku dalam hati.
"Tapi nggak usah diiket gini dong Mbak..!", kataku sedikit memohon.
"Udah diam, ikatan ini hanya hukuman pendahuluan, nanti masih banyak
hukuman yang lebih berat lagi.", kata Teh Widya sambil tersenyum.
"Willyku, sayangku.., siap ya.., hukuman kamu baru akan di mulai..!",
bisik Teh Widya dengan senyumannya yang mendesirkan sesuatu di tubuhku.
Teh Widya bangkit dan pergi menuju ke arah sound system-ku. Terlihat
olehku, Teh Widya menggunakan pakaian tidur kesukaannya. Pakaian itu
terbuat dari bahan yang sangat indah.
Pakaian itu benar-benar jatuh dan pas sekali di tubuhnya yang tinggi semampai.
"Benar-benar wanita yang sempurna", pikirku.
Lalu dia berjalan menuju sound systemku dan mengganti CD Johann Strauss
ku dengan sebuah CD yang Lain. Dia mematikan lampu utama kamarku dan
menghidupkan lampu tidur yang letaknya di kiri dan kanan tempat tidurku.
Teh Widya meyandarkan dirinya di tembok, dan tersenyum padaku sambil
berjalan perlahan ke arahku. Dia berjalan dengan gayanya yang sedikit
genit dengan diiringi lagu klasik kesukaannya, Capriccio Italien karya
Tchaikovsky.
"Kamu tau lagu ini khan sayangku? Lagu ini membuatku sedikit nakal..", kata Teh Widya sambil menaiki tempat tidurku.
Teh Widya merangkak perlahan di sebelah kananku. Dia mengatur rambutnya
yang bak untaian mutiara hitam itu ke sebelah kanan. Setelah dekat
dengan tanganku yang terikat, Mbak Wid mencium telapak tangan kananku.
"Cup..!", suara kecupan ditanganku membuat diriku mulai bergairah.
Teh Widya akhirnya tidak hanya mengecup telapak tanganku. Dia mulai
menjilati pergelangan tanganku dengan sekali-kali menggigit. Mulai dari
telapak tangan kananku, terus ke arah pergelangan tanganku, terus dan
terus sampai di bahu kananku. Aku kegelian setengah mati.
"Aduh Mbak.., uughh, geli mbak..!", kataku lirih.
Aku hanya bisa menggerakan bahuku dan kepalaku sedikit saja karena kedua tangan dan kakiku terikat.
Dari bahu kananku, Teh Widya melangkahiku dengan tetap merangkak. Dia
berpindah kesebelah kiriku dan melakukan hal yang sama dengan tangan
kananku tadi. Teh Widya menelusuri tagan kiriku dengan lidahnya.
Tanganku menjadi basah oleh ludah yang menempel di lidahnya. Hal itu
membuat rasa geli yang tidak tertahankan.
"Ouughh, Wid..!", Aku tak sadar, aku telah menghilangkan kata 'Mbak'.
"Ghh.. ah, Wid geli ss.. sayang..!"
Teh Widya tidak peduli. Dia terus melakukan hal itu terus menerus.
Sesampai lidahnya menjulaiti dan menggigit bahuku, Teh Widya mendekatkan
wajahnya yang idah cantik rupawan itu ke wajahku.
"Ayo sayang, cium aku..!", pinta Teh Widya sambil membasahi bibirnya dengan lidahnya.
Tapi Teh Widya memang pandai mengangkat libidoku.
Setiap aku berusaha mencium bibirnya, dia selalu mengangkat kepalanya
untuk menghindar dari kecupanku. Hal itu dia lakukan berulang-ulang
membuatku makin penasaran.
"Sabar sayang, belum saatnya..!", katanya.
Teh Widya melangkahi tubuhku yang masih terikat, sehingga saat ini
tubuhku berada di antara kedua kakinya. Wajahnya yang cantik mulai
menciumi leherku. Aku rasakan hembusan kecil nafasnya yang hangat
disekitar leherku. Perasaan ku mulai nggak keruan. Teh Widya terus
menciumi dan menjilati leherku disertai gigitan-gigitan kecil. Wajahnya
mulai menuruni leherku menuju ke dadaku. Seperti yang telah ku duga,
kedua belah bibir mungil nan indah bagaikan bunga mawar yang merekah
itu, mulai mempermainkan puting susuku. Dari yang kiri terus ke kanan.
"oohh, Wid, kamu nakal..!", kataku lirih menahan rasa geli yang kini sudah bercampur nikmat.
Setelah puas Teh Widya mulai menruni dadaku dan melakukan hal yang sama
dengan perutku. Disini Teh Widya bermain agak sedikit lebih lama. Tak
percuma aku membuang uang, waktu dan tenaga untuk membentuk perutku. Teh
Widya tampak menikmati tonjolan-tonjolan yang berpetak-petak di
perutku.
"Ahh, Wid.., terus sayang aku suka..!", kataku.
Teh Widya menyudahi mempermainkan otot perutku. Sekarang dia sedikit
mundur dan menduduki pahaku. Teh Widya mengekakkan tubuhnya. Dan
kemudian sekali lagi dia mengedipkan sebelah matanya.
"Ahh..,!", aku seditit mendesah ketika tangannya membelai dan meremas celana jeansku tepat di bagian yang membungkus kemaluanku.
Teh Widya terus meremas, meremas, dan meremas. Setiap remasan membuatku
menaikan sedikit pinggulku. Aku menikmati gerakan tangan Sang Bidadari
yang sedang duduk di atasku itu.
Sedang enak-enaknya aku menikmati remasan tangan Teh Widya ke celanaku,
tiba-tiba Teh Widya dengan buasnya membuka ikat pingangku dan menariknya
sampai terlepas total dari celana jeansku dan melemparnya kelantai.
Celanaku di tariknya ke bawah sampai ke betisku. Sekarang satu-satunya
yang menutupi kejantananku hanyanlah celana dalam ku saja. Teh Widya
kembali menunduk dan mulai menciumi celana dalamku. Kdang menciumi
celana dalamku, kadang meremas-remasnya dengan kuat. Tak lama kemudian
Teh Widya menggigit ujung celana dalamku dan menariknya ke bawah sampai
menumpuk menjadi satu dengan jean ku yang sudah ada di betisku.
Kini tak ada lagi yang menutupi kejantananku.
"Willy sayang.., ini hukumanmu, kamu suka khan?", bisik Teh Widya.
Aku hanya menganggukan kepalaku saja. Belum sempat aku berpikir jauh.
Teh Widya dengan sedikit kasar mengambil dan mencengkeram batang
kejantananku yang sedkit mengeras tapi belum mencapai kekerasan
maksimum. Teh Widya menunduk lagi, dan mendekatkan wajahnya ke batang
kejantananku.
"Hmmpff..!", aku menahan nafas untuk menahan gejolak jiwaku.
Teh Widya menyingkap rambutnya dan mulaimenjilati kepala batang
kejantananku. Lidahnya bermain dengan lincah di kepala rudalku. Tidak
hanya itu, dia pun menjilati dua buah biji pelerku dan sekali-kali
mengulumnya, dan akhirnya tiba saatnya dia mengulum batang rudalku. Yang
nampak olehku hanyalan gerakan naik turun kepalanya.
"Ah.., Wid, ughh, ohh ahh..", tak hentinya aku mendesah.
Aku hanya bisa sdikit menggelinjang karena tubuhku masih tetap terikat.
Entah berapa lama Teh Widya mempermainkan batang rudalku. Ludahnya yang
hangat, gerakan lidahnya yang lincah, kuluman bibirnya dan sedotan
mulutnya memang membawakan surga bagiku. 1 menit. 2 menit, 5 menit atau
lebih. Dia terus mengulum dan menjilat batangku. Hingga akhirnya dia
berhenti dan berdiri di belakang kakiku yang masih terikat.
"Sayangku, kamu suka ya?", katanya dengan manja.
"Aku pergi dulu ya.. nggak lama koq."
"Hey.. hey Teh Widya.. mau kemana..?", kataku.
Teh Widya tidak mempedulikanku. Dia malah masuk kamar mandi di kamarku.
Aku heran apa yang akan dia lakukan, sementara gairahku mulai tak
tertahankan. Tak berapa lama kemudian pintu kamar mandikupun terbuka.
Teh Widya keluar dari sana dengan hanya menggunakan handuk yang membalut
tubuhnya. Handuk itu tepat membungkus tubuh surgawi Teh Widya mulai
dari sebatas puting sususunya sampai dengan perbatasan antara paha dan
lekuk pantannya.
Mbak Wid sesekali berputar-putar di samping kiriku.
"Gimana aku nggak kalah seksi sama kamu khan sayang..!", tanya Teh Widya.
Aku tak bisa menjawab, aku hanya berulang kali menelan ludahku sendiri.
Teh Widya kemudian menaiki tempat tidurku dari belakang dan melangkahi
kedua kakiku yang masih terikat sehingga sekarang kedua kakiku tepat
berada diantara kedua kaki Teh Widya. Dia kemudian berjalan pelan-pelan
kearah wajahku.
"Oh.. Lord..!", gumamku.
Aku dapat melihat celana putih berenda-renda sehingga menjadikannya
sedikit transparan. Terlihat olehku samar-samar bulu halus yang
membayang di kemaluannya yang terbungkus kain tipis berenda itu.
"Kamu mau ini khan?" Tanya Teh Widya.
Teh Widya terus berjalan dengan sangat perlahan menuju wajahku, yang
kemudian.. astaga.., dia menduduki wajahku. Aku mengerti dengan pasti
apa yang harus kulakukan. Tapi Sang Bidadari ini memang nakal sekali.
Setiap aku mengangkat kepalaku dan mendekatkan mulutku ke arah
kemaluannya yang masih tertutup kain putih dan tipis itu, Teh Widya
selalu mengangkat pantatnya sehingga aku gagal menyentuhkan mulutku ke
arah surga yang masih tertutup itu. Hal itu dilakukannya berulang kali.
Dia mulai berjongkok lagi, aku mengangkat kepalaku, dia bangun,
berjongkok, bangun, terus itu dilakukannya beberapa kali. Aku berfikir
keras, bagai mana caranya menghentikan semua ini.