Aku selalu membayangkan betapa nikmatnya
hidup ini kalau aku bisa bebas melakukan keinginanku tanpa ada yang
melarang, dan satu hal yang selalu kuinginkan adalah aku bisa
sehari-hari hidup tanpa memakai busana, alias telanjang bulat. Dan hal
ini baru dapat kulaksanakan setelah aku akhirnya memiliki rumah
kontrakan sendiri. Sejak saat itu aku selalu membiasakan diriku hidup
tanpa memakai busana, dan aku hanya menutupi tubuhku dengan sarung
manakala aku berada di sekitar ruangan tamu, yang memang dapat terlihat
dari arah luar melalui jendela kaca yang terhalang dengan vitrage. Namun
ternyata setelah 2-3 bulan aku menjalani hidup seperti ini serasa ada
yang kurang, karena segala sesuatu harus kulakukan sendiri, mulai dari
mencuci baju, menyetrika, memasak air, sedangkan untuk kebutuhan makan
kulakukan dengan makan di warung. Aku mulai berpikir untuk mencari
pembantu yang dapat membantuku untuk melakukan kegiatan sehari-hari
untuk kebutuhan hidupku.
Kemudian aku memutuskan mulai mencari pembantu yang sesuai dengan
kebutuhanku. Sebelum aku melanjutkan ceritaku, aku ingin berbagi dengan
para pembaca, aku adalah seorang lelaki berumur 38 tahun yang mempunyai
libido yang besar, namun aku tidak suka menyalurkannya di tempat-tempat
yang sering dikunjungi para hidung belang, selain takut membayangkan
hal-hal yang negatif yang harus kualami, aku juga kurang menyukai
perempuan yang hanya menjajakan seks karena profesi dan juga karena
uang. Dan satu hal yang aneh dalam diriku adalah aku senang dengan
perempuan yang masih remaja, walaupun aku tidak menolak bila berhubungan
dengan wanita yang sudah matang, karena memang dalam permainan seks,
mereka jauh lebih menghanyutkan dan mengasyikkan, namun bagiku selalu
menimbulkan sensasi seks yang luar biasa apabila aku membayangkan diriku
sedang mencumbu seorang gadis yang masih remaja, terlebih lagi gadis
yang baru tumbuh.
Pada awalnya aku mulai mencari-cari gadis yang mau menjadi pembantu di
panti-panti asuhan, namun karena prosesnya berbelit-belit, akhirnya aku
memutuskan mencarinya sendiri di desa-desa, karena aku tahu jauh lebih
mudah mencarinya di desa daripada keluar masuk dari satu panti asuhan ke
panti asuhan yang lain.
Suatu hari, singkat cerita aku mulai menjelajah di salah satu desa di
daerah Wonogiri. Aku memang sengaja berburu ke daerah itu karena
terkenal akan Mbok bakul jamunya, dan aku membayangkan pasti gadis-gadis
di desa itu pun terbiasa untuk mengkonsumsi jamu. Tentu aroma tubuh dan
bentuk tubuh mereka akan berbeda, dan yang pasti akan menimbulkan
gairah seksku.
Sesampainya di desa itu, aku mulai mencari rumah Bapak Kepala Desa, yang
disambutnya dengan cara yang simpatik, setelah aku menjelaskan maksud
dan tujuanku. Karena aku tidak mau tanggung-tanggung, kujelaskan secara
rinci apa yang kuharapkan dengan gadis pembantu yang kuinginkan. Dan
kutambahkan agar calon gadis pembantuku itu juga yang suka membuat jamu
serta rajin mengkonsumsinya. Tidak lupa aku juga memperkenalkan diriku
kepada Bapak Kepala Desa.
"Silakan Mas Budi tunggu sebentar, nanti bapak akan panggilkan Carik Desa untuk membantu mencarinya.."
"Terima kasih Pak untuk bantuannya, tolong saja kalau bisa jangan satu orang, 4 atau 5 orang supaya saya bisa memilihnya."
"Tanggung beres Mas.." sahutnya tak kurang simpatiknya, dan langsung
saja dia memberikan perintah kepada anak buahnya melakukannya sesuai
dengan permintaanku, "Gole'ke se'ng ayu sisan, ojo ngisin-ngisini..!
(carikan sekalian yang cantik, jangan malu-maluin..!)" tambahnya.
Dalam hati aku berpikir, baik juga bapak kepala desa ini, yang kemudian
kutahu namanya Pak Mahmud. Dan aku bertekad untuk membalas budinya bila
aku memang benar-benar menemukan gadis pembantu yang cocok dengan
seleraku.
Selang beberapa lama, Carik Desa itu membawa 6 orang gadis yang kutaksir
berumur antara 12 sampai 15 tahun. Kupandangi satu persatu, sambil
kutanyakan namanya. Sampai akhirnya pada gadis yang terakhir, aku merasa
cocok dengannya, wajahnya ayu namun sifatnya pemalu, tingginya
sepundakku, tubuhnya padat berisi, kulitnya kuning langsat, lehernya
sedikit jenjang, denganrambut yang terurai sebahu, dan kulihat dari
samping payudaranya masih baru tumbuh, namun agak mencuat ke atas
sedikit. Dia tertunduk malu saat dia menyebutkan namanya, "Sumiati.."
gumamnya.
"Pak Mahmud, bagaimana kalau saya memilih Sum saja, dia cocok dengan selera saya."
"Wah, Mas rupanya punya selera dan mata yang tajam, Bapak sudah berpikir
pasti Mas akan memilihnya, karena dia memang kembang desa sini."
"Ah Bapak bisa saja, saya hanya melihat Sum anaknya bersih, dan sepertinya rajin bekerja."
"Monggo Mas, biar nanti Bapak yang akan menjelaskan kepada orang tuanya,
dan Bapak kenal sekali dengan Bapak dan Ibunya Sum, kapan Mas Budi akan
kembali ke kota..?"
"Kalau memang bisa selesai sekarang saya tidak akan berlama-lama di
sini, karena masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan di kota."
"Baik kalau begitu, ayo Sum, kamu bersiap-siap untuk ikut dengan Bapak
ini ke kota, kamu kan sudah bertekad untuk bekerja di kota, silakan
pamit kepada orangtuamu, selanjutnya biar Bapak yang akan membantumu."
"Oh ya Pak, tolong titip sekalian untuk orangtua Sum..!" dan aku
mengeluarkan 2 buah amplop yang memang sudah kusiapkan sejak aku
berangkat dari rumah, "Yang satu untuk orangtua Sum, dan yang satu lagi
untuk Bapak, sebagai ucapan terima kasih saya kepada Bapak yang sudah
membantu saya."
Pak Mahmud dengan gembira menerima pemberianku, sambil
terbungkuk-bungkuk beliau menerimanya sambil tidak lupa berulang-ulang
mengucapkan terima kasih, karena dia tahu bahwa jumlah yang diterimanya
bukanlah uang yang sedikit saat dia meraba tebalnya amplop yang
kuberikan.
Dalam perjalanan ke kotaku, Sum hanya tertunduk malu, dia hanya mendekap
tas bawaannya yang tidak seberapa, mungkin hanya berisi beberapa potong
baju, karena aku sendiri sudah mengatakan kepadanya bahwa untuk
kebutuhan pakaian yang akan dikenakannya akan kubelikan setibanya di
kota nanti. Sepanjang perjalanan kucoba untuk mulai akrab dengan
dirinya, sambil tidak lupa kupasang musik instrumental yang bernuansa
lembut. Perlahan-lahan kebekuan itu mulai mencair, dan Sum mulai
menceritakan dirinya yang baru 1 tahun ini lulus SD, sekarang dia baru
berumur 14 tahun.
"Hmm.. cocok dengan seleraku, gadis yang masih ranum, baru tumbuh, aku
membayangkan mungkin buah dadanya baru tumbuh, dan pasti puting susunya
pun masih sebesar pentil, ah bagaimana dengan kemaluannya.., apakah
sudah ditumbuhi rambut..?" bayangan itu membawa imajinasiku semakin
melambung tinggi.
Tidak terasa penisku mulai berdenyut dan bereaksi mengikuti irama lamunanku.
"Hati-hati Pak..! Kok nyetirnya sambil melamun.." katanya menyadarkanku dari lamunanku.
"Uups..," aku menghindar dan kurem secara mendadak saat kulihat kerbau yang melintas di tengah jalan yang kulalui.
"Uh.., untung ada Sum, coba kalau tidak.. wah.. bisa konyol kita ya..?
Sum kamu nggak usah panggil Pak kepada saya, panggil saja Mas Budi.."
"Iya Pak.., eh Mas.." awalnya Sum masih canggung untuk memanggil Mas
kepadaku, namun lama-kelamaan dia mulai terbiasa, walaupun sifat
pemalunya masih saja kental dalam dirinya, tetapi itu justru yang
menimbulkan gairahku semakin meninggi.
"Sabar.. sabar.." kataku pada diriku sendiri, aku harus memulainya
dengan perlahan-lahan, jangan sampai seluruh rencanaku hancur karena
terlalu terburu-buru, dan aku sudah bertekad untuk menikmati hidup ini
secara perlahan-lahan.
Sesampainya di rumah kontrakanku, aku menunjukkan kamar Sum di bagian
tengah, karena rumah kontrakan-ku memang hanya terdiri dari 3 kamar.
Yang di depan kupakai sebagai ruang kerjaku, yang satu lagi kupakai
untuk ruang tidurku. Ruang tidurku dan ruang tidur Sum dipisahkan dengan
kamar mandi.
Pada saat aku mengontrak rumah ini, aku sudah merombak bagian ruang
tidurku, kutempatkan lemari gantung yang bila kubuka pintunya, aku dapat
melihat ke kamar mandi dengan bebas, karena aku menempatkan one way
mirror berukuran 1 x 1.2 meter di dalamnya.
"Nanti saja kamu mandinya Sum, tunggu saya, saya akan keluar sebentar,
kamu beres-beres rumah saja, tolong sapu dan bersihkan rumah sepeninggal
saya, kamu lihat sendiri banyak debu yang harus dibersihkan." pesan
saya padanya.
"Baik Mas.." katanya lembut.
Dan Sum tanpa canggung sudah melakukan tugas yang kuberikan dengan mengambil sapu di belakang.
Kupacu mobilku menuju Departemen store di kotaku, lalu aku mulai sibuk
memilih beberapa t-shirt Nevada yang ketat dengan bahan yang agak tipis,
beberapa celana dalam yang bentuknya seksi, 2 potong handuk berukuran
sedang, serta rok pendek yang kuperkirakan hanya sebatas paha bila
dikenakan oleh Sum. Dalam perjalan pulang, aku sudah membayangkan betapa
nikmatnya memandangi tubuh Sum yang dibalut dengan t-shirt tanpa BH,
serta rok pendek yang dikenakan, hmm.., tidaklupa aku membelikan sabun
mandi Pquito untuknya, agar tubuhnya harum. Sengaja aku tidak membelikan
BH satupun untuk dirinya, karena memang aku bermaksud agar Sum tidak
memakainya sepanjang hari.
Setibanya aku di rumah, kulihat Sum sedang membersihkan kaca jendela depan rumah.
"Wah.., kamu rajin sekali Sum, terima kasih, tidak salah aku memilihmu." sapaku padanya.
"Ah Mas bisa saja, ini biasa saya lakukan kalau saya ada di rumah."
katanya sambil terus melakukan pekerjaannya tanpa memperhatikanku.
Aku masuk ke kamar Sum, dan mulai aku membongkar tasnya. Seperti
dugaanku, Sum hanya membawa 2 potong rok terusan dan 1 buah kutang kecil
serta 2 buah celana dalam yang terbuat dari bahan murahan. Kuambil
seluruhnya dan kubungkus dengan tas plastik, lalu kusembunyikan di
lemari ruang tidurku.
Bersambung...