Ningsih Pembantuku
Bermula dari ditinggal istri kabur karena
aku ketahuan mencari daun muda, akhirnya Terjadilah Cerita ini, antara
gue dengan ningsih, pembantu baruku yang lugu..
Sebut saja namaku Paul. Aku bekerja di sebuah instansi pemerintahan di
kota S, selain juga memiliki sebuah usaha wiraswasta. Sebetulnya aku
sudah menikah, bahkan rasanya istriku tahu akan hobiku mencari daun-daun
muda untuk “obat awet muda”. Dan memang pekerjaanku menunjang untuk
itu, baik dari segi koneksi maupun dari segi finansial. Namun semenjak
istriku tahu aku memiliki banyak sekali simpanan, suatu hari ia
meninggalkanku tanpa pamit. Biarlah, malah aku bisa lebih bebas
menyalurkan hasrat.
Karena pembantu yang lama keluar untuk kawin di desanya, aku terpaksa
mencari penggantinya di agen. Bukan saja karena berbagai pekerjaan rumah
terbengkalai, juga rasanya kehilangan “obat stress”. Salah seorang
calon yang menarik perhatianku bernama Ningsih, baru berusia (hampir) 16
tahun, berwajah cukup manis, dengan lesung pipit. Matanya sedikit sayu
dan bibirnya kecil seksi. Seandainya kulitnya tidak sawo matang
(meskipun bersih dan mulus juga), dia sudah mirip-mirip artis sinetron.
Meskipun mungil, bodinya padat, dan yang terpenting, dari sikapnya aku
yakin pengalaman gadis itu tidak sepolos wajahnya. Tanpa banyak tanya,
langsung dia kuterima.
Dan setelah beberapa hari, terbukti Ningsih memang cukup cekatan
mengurus rumah. Namun beberapa kali pula aku memergokinya sedang sibuk
di dapur dengan mengenakan kaos ketat dan rok yang sangat mini. Tanpa
menyia-nyiakan kesempatan, aku mendekat dari belakang dan kucubit paha
gadis itu. Ningsih terpekik kaget, namun setelah sadar majikannya yang
berdiri di belakangnya, ia hanya merengut manja dan disinilah awal
Cerita Dewasa Kami Dimulai.
Sore ini sepulang kerja aku kembali dibuat melotot disuguhi pemandangan
yang ‘menegangkan’ saat Ningsih yang hanya berdaster tipis menungging
sedang mengepel lantai, pantatnya yang montok bergoyang kiri-kanan.
Tampak garis celana dalamnya membayang di balik dasternya. Tidak tahan
membiarkan pantat seseksi itu, kutepuk pantat Ningsih keras-keras.
“Ngepel atau nyanyi dangdut sih? Goyangnya kok merangsang sekali!”
Ningsih terkikik geli mendengar komentarku, dan kembali meneruskan
pekerjaannya. Dengan sengaja pantatnya malah digoyang semakin keras.
Geli melihat tingkah Ningsih, kupegang pantat gadis itu kuat-kuat untuk
menahan goyangannya. Saat Ningsih tertawa cekikikan, jempolku sengaja
mengelus selangkangan gadis itu, menghentikan tawanya. Karena diam saja,
perlahan kuelus paha Ningsih ke atas, menyingkapkan ujung
dasternya.”Eh… Ndoro… jangan..!” cegah Ningsih lirih.
“Nggak pa-pa, nggak usah takut, Nduk..!”
“Jangan, Ndoro… malu… jangan sekarang..!”
Dengan tergesa Ningsih bangkit membereskan ember dan kain pel, lalu bergegas menuju ke dapur.
Malam harinya lewat intercom aku memanggil Ningsih untuk memijat
punggungku yang pegal. Seharian penuh bersidang memang membutuhkan
stamina yang prima. Agar tenagaku pulih untuk keperluan besok, tidak ada
salahnya memberi pengalaman pada orang baru.
Gadis itu muncul masih dengan daster merah tipisnya sambil membawa
minyak gosok. Ningsih duduk di atas ranjang di sebelah tubuhku.
Sementara jemari lentik Ningsih memijati punggung, kutanya, “Nduk, kamu sudah punya pacar belum..?”
“Disini belum Ndoro…” jawab gadis itu.
“Disini belum..? Berarti di luar sini sudah..?”
Sambil tertawa malu-malu gadis itu menjawab lagi, “Dulu di desa saya pernah, tapi sudah saya putus.”
“Lho, kenapa..?”
“Habis mau enaknya saja dia.”
“Mau enaknya saja gimana..?” kejarku.
“Eh… itu, ya… maunya ngajak gituan terus, tapi kalau diajak kawin nggak mau.”
Aku membalikkan badan agar dadaku juga turut dipijat.
“Gituan gimana? Memangnya kamu nggak suka..?”
Wajah Ningsih memerah, “Ya… itu… ngajak kelonan… tidur telanjang bareng…”
“Kamu mau aja..?”
“Ih, enggak! Kalau cuma disuruh ngemut burungnya saja sih nggak pa-pa.
Mau sampai selesai juga boleh. Tapi yang lain Ningsih nggak mau..!”
Aku tertawa, “Lha apa nggak belepotan..?”
“Ah, enggak. Yang penting Ningsih juga puas tapi tetep perawan.”
Aku semakin terbahak, “Kalau kamu juga puas, terus kenapa diputus..?”
“Abis lama-lama Ningsih kesel! Ningsih kalau diajak macem-macem mau,
tapi dia diajak kawin malah main mata sama cewek lain! Untung Ningsih
cuma kasih emut aja, jadi sampai sekarang Ningsih masih perawan.”
“Main emut terus gitu apa kamu nggak pengin nyoba yang beneran..?” godaku.
Wajah Ningsih kembali memerah, “Eh… katanya sakit ya Ndoro..? Terus bisa hamil..?”
Kini Ningsih berlutut mengangkangi tubuhku sambil menggosokkan minyak ke
perutku. Saat gadis itu sedikit membungkuk, dari balik dasternya yang
longgar tampak belahan buah dadanya yang montok alami tanpa penopang
apapun.
Sambil tanganku mengelus-elus kedua paha Ningsih yang terkangkang, aku
menggoda, “Kalau sama Ndoro, Ningsih ngasih yang beneran atau cuma
diemut..?”
Pipi Ningsih kini merah padam, “Mmm… memangnya Ndoro mau sama Ningsih? Ningsih kan cuma pembantu? Cuma pelayan?”
“Nah ini namanya juga melayani. Iya nggak?”
Ningsih hanya tersenyum malu.
“Aaah! Itu kan cuma jabatan. Yang penting kan orangnya..!”
“Ehm.., kalau hamil gimana..?”
“Jangan takut Nduk, kalau cuma sekali nggak bakalan hamil. Nanti Ndoro yang tanggung jawab..”
Meskipun sedikit ragu dan malu, Ningsih menuruti dan menanggalkan dasternya.
Sambil meletakkan pantatnya di atas pahaku, gadis itu dengan tersipu
menyilangkan tangannya untuk menutupi kemontokan kedua payudaranya.
Untuk beberapa saat aku memuaskan mata memandangi tubuh montok yang
nyaris telanjang, sementara Ningsih dengan jengah membuang wajah. Dengan
tidak sabaran kutarik pinggang Ningsih yang meliuk mulus agar ia
berbaring di sisiku.
Seumur hidup mungkin baru sekali ini Ningsih merasakan berbaring di atas
kasur seempuk ini. Langsung saja kusergap gadis itu, kuciumi bibirnya
yang tersenyum malu, pipinya yang lesung pipit, menggerayangi sekujur
tubuhnya dan meremas-remas kedua payudaranya yang kenyal menggiurkan.
Puting susunya yang kemerahan terasa keras mengacung. Kedua payudara
gadis itu tidak terlalu besar, namun montok pas segenggaman tangan. Dan
kedua bukit itu berdiri tegak menantang, tidak menggantung. Gadis desa
ini memang sedang ranum-ranumnya, siap untuk dipetik dan dinikmati.
“Mmmhh… Oh! Ahhh! Oh… Ndorooo… eh.. mmm… burungnya… mau Ningsih emut
dulu nggak..?” tanya gadis itu diantara nafasnya yang terengah-engah.
“Lepas dulu celana dalam kamu Nduk, baru kamu boleh emut.”
Tersipu Ningsih bangkit, lalu memelorotkan celana dalamnya hingga kini
gadis itu telanjang bulat. Perlahan Ningsih berlutut di sisiku, meraih
kejantananku dan mendekatkan wajahnya ke selangkanganku. Sambil
menyibakkan rambutnya, gadis itu sedikit terbelalak melihat besarnya
kejantananku. Mungkin ia membayangkan bagaimana benda berotot sebesar
itu dapat masuk di tubuhnya.
Aku segera merasakan sensasi yang luar biasa ketika Ningsih mulai
mengulum kejantananku, memainkan lidahnya dan menghisap dengan mulut
mungilnya sampai pipinya ‘kempot’. Gadis ini ternyata pintar membuat
kejantananku cepat gagah.
“Ehm… srrrp… mmm… crup! Ahmm… mmm… mmmh..! Nggolo (ndoro)..! Hangang keyas-keyas (jangan keras-keras)..! Srrrp..!”
Gadis itu tergeliat dan memprotes ketika aku meraih payudaranya yang
montok dan meremasinya. Namun aku tak perduli, bahkan tangan kananku
kini mengelus belahan pantat Ningsih yang bulat penuh, terus turun
sampai ke bibir kemaluannya yang masih jarang-jarang rambutnya. Maklum,
masih perawan.
Gadis itu tergelinjang tanpa berani bersuara ketika jemariku menyibakkan
bibir kemaluannya dan menelusup dalam kemaluannya yang masih perawan.
Merasa kejantananku sudah cukup gagah, kusuruh Ningsih mengambil pisau
cukur di atas meja, lalu kembali ke atas ranjang. Tersipu-sipu gadis
perawan itu mengambil bantal berusaha untuk menutupi ketelanjangannya.
Malu-malu gadis itu menuruti perintah majikannya berbaring telentang
menekuk lutut dan merenggangkan pahanya, mempertontonkan rambut
kemaluannya yang hanya sedikit. Tanpa menggunakan foam, langsung kucukur
habis rambut di selangkangan gadis itu, membuat Ningsih tergelinjang
karena perih tanpa berani menolak. Kini bibir kemaluan Ningsih mulus
kemerahmerahan seperti kemaluan seorang gadis yang belum cukup umur,
namun dengan payudara yang kencang.
Dengan sigap aku menindih tubuh montok menggiurkan yang telanjang bulat
tanpa sehelai benang pun itu. Tersipu-sipu Ningsih membuang wajah dan
menutupi payudaranya dengan telapak tangan. Namun segera kutarik kedua
tangan Ningsih ke atas kepalanya, lalu menyibakkan paha gadis itu yang
sudah mengangkang. Pasrah Ningsih memejamkan mata menantikan saatnya
mempersembahkan keperawanannya.
Gadis itu menahan nafas dan menggigit bibir saat jemariku mempermainkan
bibir kemaluannya yang basah terangsang. Perlahan kedua paha mulus
Ningsih terkangkang semakin lebar. Aku menyapukan ujung kejantananku
pada bibir kemaluan gadis itu, membuat nafasnya semakin memburu.
Perlahan tapi pasti, kejantananku menerobos masuk ke dalam kehangatan
tubuh perawan Ningsih. Ketika selaput dara gadis manis itu sedikit
menghalangi, dengan perkasa kudorong terus, sampai ujung kejantananku
menyodok dasar liang kemaluan Ningsih. Ternyata kemaluan gadis ini kecil
dan sangat dangkal masih perawan. Kejantananku hanya dapat masuk
seluruhnya dalam kehangatan keperawanannya bila didorong cukup kuat
sampai menekan dasar kemaluannya. Itu pun segera terdesak keluar lagi.
Ningsih terpekik sambil tergeliat merasakan pedih menyengat di
selangkangannya saat kurenggutkan keperawanan yang selama ini telah
dijaganya baik-baik. Tapi gadis itu hanya berani meremas-remas bantal di
kepalanya sambil menggigit bibir menahan sakit. Air mata gadis itu tak
terasa menitik dari sudut mata, mengaburkan pandangannya. Ningsih
merintih kesakitan ketika aku mulai bergerak menikmati kehangatan
kemaluannya yang serasa ‘megap-megap’ dijejali benda sebesar itu. Namun
rasa sakit dan pedih di selangkangannya perlahan tertutup oleh sensasi
geli-geli nikmat yang luar biasa.
Tiap kali kejantananku menekan dasar kemaluannya, gadis itu tergelinjang
oleh ngilu bercampur nikmat yang belum pernah dirasakannya.
Kejantananku bagai diremas-remas dalam liang kemaluan Ningsih yang
begitu ‘peret’ dan legit. Dengan perkasa kudorong kejantananku sampai
masuk seluruhnya dalam selangkangan gadis itu, membuat Ningsih
tergelinjang-gelinjang sambil merintih nikmat tiap kali dasar
kemaluannya disodok.
“Ahh… Ndoro..! Aa… ah..! Aaa… ahk..! Oooh..! Ndorooo… Ningsih pengen… pih… pipiiis..!
Aaa… aahh..!”
Sensasi nikmat luar biasa membuat Ningsih dengan cepat terorgasme.
“Tahan Nduk! Kamu nggak boleh pipis dulu..! Tunggu Ndoro pipisin kamu, baru kamu boleh pipis..!”
Dengan patuh Ningsih mengencangkan otot selangkangannya sekuat tenaga
berusaha menahan pipis, kepalanya menggeleng-geleng dengan mata
terpejam, membuat rambutnya berantakan, namun beberapa saat kemudian…
“Nggak tahan Ndorooo..! Ngh…! Ngh…! Ngggh! Aaaiii… iik..! Aaa… aaahk..!”
Tanpa dapat ditahan-tahan, Ningsih tergelinjang-gelinjang di bawah
tindihanku sambil memekik dengan nafas tersengal-sengal.
Payudaranya yang bulat dan kenyal berguncang menekan dadaku saat gadis
itu memeluk erat tubuh majikannya, dan kemaluannya yang begitu rapat
bergerak mencucup-cucup.
Berpura-pura marah, aku menghentikan genjotannya dan menarik kejantananku keluar dari tubuh Ningsih.
“Dibilang jangan pipis dulu kok bandel..! Awas kalau berani pipis
lagi..!” Tampak kejantananku bersimbah cairan bening bercampur
kemerahan, tanda gadis itu betul-betul masih perawan. Gadis itu mengira
majikannya sudah selesai, memejamkan mata sambil tersenyum puas dan
mengatur nafasnya yang ‘senen-kamis’. Di pangkal paha gadis itu tampak
juga darah perawan menitik dari bibir kemaluannya yang perlahan menutup.
Aku menarik pinggang Ningsih ke atas, lalu mendorong sebuah bantal empuk
ke bawah pantat Ningsih, membuat tubuh telanjang gadis itu agak
melengkung karena pantatnya diganjal bantal. Tanpa basa-basi kembali
kutindih tubuh montok Ningsih, dan kembali kutancapkan kejantananku
dalam liang kemaluan gadis itu. Dengan posisi pantat terganjal, klentit
Ningsih yang peka menjadi sedikit mendongak. Sehingga ketika aku kembali
melanjutkan tusukanku, gadis itu tergelinjang dan terpekik merasakan
sensasi yang bahkan lebih nikmat lagi dari yang barusan.
“Mau terus apa brenti, Nduk..?” godaku.
“Aii… iih..! He.. eh..! Terus Ndorooo..! Enak..! Enak..! Aahh… Aiii… iik..!”
Tubuh Ningsih yang montok menggiurkan tergelinjang-gelinjang dengan
nikmat dengan nafas tersengal-sengal diantara pekikan-pekikan manjanya.
“Ooo… ohh..! Ndoroo.., Ningsih pengen pipis.. lagiii… iih..!”
“Yang ini ditahan dulu..! Tahan Nduk..!”
“Aa.. aak..! Ampuuu… unnhh..! Ningsih nggak kuat… Ndorooo..!”
Seiring pekikan manjanya, tubuh gadis itu tergeliat-geliat di atas ranjang empuk.
Pekikan manja Ningsih semakin keras setiap kali tubuh telanjangnya
tergerinjal saat kusodok dasar liang kegadisannya, membuat kedua pahanya
tersentak mengangkang semakin lebar, semakin mempermudah aku menikmati
tubuh perawannya. Dengan gemas sekuat tenaga kuremas-remas kedua
payudara Ningsih hingga tampak berbekas kemerah-merahan. Begitu kuatnya
remasanku hingga cairan putih susu menitik keluar dari putingnya yang
kecoklatan.
“Ahhhk..! Aaa.. aah! Aduu.. uhh! Sakit Ndorooo..! Ningsih mau pipiiiiss..!”
Dengan maksud menggoda gadis itu, aku menghentikan sodokannya dan mencabut kejantanannya justru disaat Ningsih mulai orgasme.
“Mau pipis Nduk..?” tanyaku pura-pura kesal.
“Oohh… Ndorooo… terusin dong..! Cuma ‘dikit, nggak pa-pa kok..!” rengek gadis itu manja.
“Kamu itu nggak boleh pipis sebelum Ndoro pipisin kamu, tahu..?” aku terus berpura-pura marah.
Tampak bibir kemaluan Ningsih yang gundul kini kemerah-merahan dan bergerak berdenyut.
“Enggak! Enggak kok! Ningsih enggak berani Ndoro..!”
Ningsih memeluk dan berusaha menarik tubuhku agar kembali menindih
tubuhnya. Rasanya sebentar lagi gadis itu mau pipis untuk ketiga
kalinya.
“Kalau sampai pipis lagi, Ndoro bakal marah, lho Nduk..?” kuremas kedua buah dada montok Ningsih.
“Engh… Enggak. Nggak berani.” Wajah gadis itu berkerut menahan pipis.
“Awas kalau berani..!” kukeraskan cengkeraman tangannya hingga payudara
gadis itu seperti balon melotot dan cairan putih susu kembali menetes
dari putingnya.
“Ahk! Aah..! Nggak berani, Ndoro..!”
Ningsih menggigit bibir menahan sakitnya remasan-remasanku yang bukannya
dilepas malah semakin kuat dan cepat. Namun gadis itu segera merasakan
ganjarannya saat kejantananku kembali menghajar kemaluannya. Tak ayal
lagi, Ningsih kembali tergiur tanpa ampun begitu dasar liang kemaluannya
ditekan kuat.
“Ngh..! Ngh..! Nggghhh..! Ahk… Aaa… aahhh..! Ndorooo… ampuuu… uun..!”
Tubuh montok gadis itu tergerinjal seiring pekikan manjanya.
Begitu cepatnya Ningsih mencapai puncak membuat aku semakin gemas
menggeluti tubuh perawannya. Tanpa ampun kucengkeram kedua bukit montok
yang berdiri menantang di hadapanku dan meremasinya dengan kuat,
meninggalkan bekas kemerahan di kulit payudara Ningsih. Sementara
genjotan demi genjotan kejantananku menyodok kemaluan gadis itu yang
hangat mencucup-cucup menggiurkan, bagai memohon semburan puncak.
Gadis itu sendiri sudah tak tahu lagi mana atas mana bawah, kenikmatan
luar biasa tidak henti-hentinya memancar dari selangkangannya. Rasanya
seperti ingin pipis tapi nikmat luar biasa membuat Ningsih tidak sadar
memekik-mekik manja. Kedua pahanya yang sehari-hari biasanya disilangkan
rapat-rapat, kini terkangkang lebar, sementara liang kemaluannya tanpa
dapat ditahan-tahan berdenyut mencucup kejantananku yang begitu perkasa
menggagahinya. Sekujur tubuh gadis itu basah bersimbah keringat.
“Hih! Rasain! Dibilang jangan pipis! Mau ngelawan ya..!” Gemas
kucengkeram kedua buah dada Ningsih erat-erat sambil menghentakkan
kejantananku sejauh mungkin dalam kemaluan dangkal gadis itu.
Ningsih tergelinjang-gelinjang tidak berdaya tiap kali dasar kemaluannya
disodok. Pantat gadis itu yang terganjal bantal empuk berulangkali
tersentak naik menahan nikmat.
“Oooh… Ndorooo..! Ahk..! Ampun..! Ampun Ndoroo..! Sudah..! Ampuuu..
unn..!” Ningsih merintih memohon ampun tidak sanggup lagi merasakan
kegiuran yang tidak kunjung reda.
Begitu lama majikannya menggagahinya, seolah tidak akan pernah selesai.
Tidak terasa air matanya kembali berlinang membasahi pipinya. Kedua
tangan gadis itu menggapai-gapai tanpa daya, paha mulusnya tersentak
terkangkang tiap kali kemaluannya dijejali kejantananku, nafasnya
tersengal dan terputus-putus. Bagian dalam tubuhnya terasa ngilu disodok
tanpa henti. Putus asa Ningsih merengek memohon ampun, majikannya bagai
tak kenal lelah terus menggagahi kegadisannya. Bagi gadis itu seperti
bertahun-tahun ia telah melayani majikannya dengan pasrah.
Menyadari kini Ningsih sedang terorgasme berkepanjangan, aku tarik paha
Ningsih ke atas hingga menyentuh payudaranya dan merapatkannya.
Akibatnya kemaluan gadis itu menjadi semakin sempit menjepit
kejantananku yang terus menghentak keluar masuk. Ningsih berusaha
kembali mengangkang, namun dengan perkasa semakin kurapatkan kedua paha
mulusnya. Mata Ningsih yang bulat terbeliak dan berputar-putar,
sedangkan bibirnya merah merekah membentuk huruf ‘O’ tanpa ada suara
yang keluar. Sensasi antara pedih dan nikmat yang luar biasa di
selangkangannya kini semakin menjadi-jadi.
Aku semakin bersemangat menggenjotkan kejantananku dalam hangatnya
cengkeraman pangkal paha Ningsih, membuat gadis itu terpekik-pekik
nikmat dengan tubuh terdorong menyentak ke atas tiap kali kemaluannya
disodok keras.
“Hih! Rasain! Rasain! Nih! Nih! Nihh..!” aku semakin geram merasakan
kemaluan Ningsih yang begitu sempit dan dangkal seperti mencucup-cucup
kejantananku.
“Ahh..! Ampuuu…uun… ampun… Ndoro! Aduh… sakiit… ampuuu… un..!”
Begitu merasakan kenikmatan mulai memuncak, dengan gemas kuremas kedua
payudara Ningsih yang kemerah-merahan berkilat bersimbah keringat dan
cairan putih dari putingnya, menumpukan seluruh berat tubuhku pada tubuh
gadis itu dengan kedua paha gadis itu terjepit di antara tubuh kami,
membuat tubuh Ningsih melesak dalam empuknya ranjang.
Pekikan tertahan gadis itu, gelinjangan tubuhnya yang padat telanjang
dan ‘peret’-nya kemaluannya yang masih perawan membuatku semakin hebat
menggeluti gadis itu.
“Aduh! Aduu… uuhh… sakit Ndoro! Aaah… aaamm… aaammpuuun… ampuuu… uun Ndoro..
Ningsih… pipiiii… iiis! Aaammm… puuun..!”
Dan akhirnya kuhujamkan kejantananku sedalam-dalamnya memenuhi kemaluan
Ningsih, membuat tubuh telanjang gadis itu terlonjak dalam tindihanku,
namun tertahan oleh cengkeraman tanganku pada kedua buah dada Ningsih
yang halus mulus.
Tanpa dapat kutahan, kusemburkan sperma dalam cucupan kemaluan Ningsih
yang hangat menggiurkan sambil dengan sekuat tenaga meremas-remas kedua
buah dada gadis itu, membuat Ningsih tergerinjal antara sakit dan
nikmat.
“Ahk! Auh..! Aaa… aauuhh! Oh… ampuuu…uun Ndoro! Terus Ndoro..! Ampuuun! Amm… mmh..! Aaa… aaakh..!”
Dengan puas aku menjatuhkan tubuh di sisi tubuh Ningsih yang sintal,
membuat gadis itu turut terguling ke samping, namun kemudian gadis itu
memeluk tubuhku. Sambil terisak-isak bahagia, Ningsih memeluk tubuhku
dan mengelus-elus punggungku.
Sambil mengatur nafas, aku berpikir untuk menaikkan gaji Ningsih
beberapa kali lipat, agar gadis itu betah bekerja di sini, dan dapat
melayaniku setiap saat. Dengan tubuh yang masih gemetar dan lemas,
Ningsih perlahan turun dari ranjang dan mulai melompat-lompat di samping
ranjang.
Keheranan aku bertanya, “Ngapain kamu, Nduk..?”
“Katanya… biar nggak hamil harus lompat.. lompat, Ndoro..” jawab gadis itu polos.
Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya, melihat cairan kental meleleh
dari pangkal paha gadis itu yang mulus tanpa sehelai rambut pun.